HukumID | Jakarta — Ikatan Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan Seluruh Indonesia (IPASPI) mengecam keras tindakan kekerasan yang menimpa Panitera Pengadilan Negeri Sibolga, Temaziduhu Harefa saat memimpin pelaksanaan eksekusi putusan perdata di Desa Masnauli, Kecamatan Sirandorung, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kamis (6/11/2025).
Kecaman tersebut disampaikan Ketua Umum IPASPI, Tavip Dwiyatmiko dalam konferensi pers di Media Center Mahkamah Agung (MA), Jumat (7/11/2025). Konferensi pers dipimpin langsung oleh Plt. Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi dan turut dihadiri jajaran pengurus pusat IPASPI.
Tavip Dwiyatmiko diserang secara tiba-tiba oleh Termohon Eksekusi 1 menggunakan kunci roda saat memimpin eksekusi perkara perdata Nomor 15/PDT.G/2015/PN Sibolga jo. Nomor 148/PDT/2016/PT Medan jo. Nomor 575 K/PDT/2018.
Serangan itu menyebabkan korban mengalami luka bocor di kepala dan pendarahan yang hingga kini masih berlangsung. Korban telah melaporkan kejadian tersebut ke Polres Tapanuli Tengah.
“Pemukulan itu dilakukan dari samping belakang menggunakan kunci roda. Korban sudah dijahit, tetapi pendarahan masih ada. Kami terus memantau kondisinya,” ujar Tavip.
Pengurus IPASPI wilayah Sumatera Utara dikabarkan terus mengikuti perkembangan kesehatan korban. IPASPI juga akan memberangkatkan perwakilan ke Sibolga untuk memberikan dukungan langsung, termasuk bantuan finansial.
Plt. Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi menyampaikan bahwa Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Sunarto, telah menerima laporan atas insiden tersebut dan menyampaikan keprihatinan mendalam.
“Dalam dua hari berturut-turut, aparatur peradilan mengalami kekerasan fisik. Kemarin rumah seorang hakim dibakar, hari ini Panitera diserang saat menjalankan perintah pengadilan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa sikap resmi Mahkamah Agung akan disampaikan oleh Juru Bicara MA, Prof. Dr. Sunarto, pada Senin mendatang.
Kekerasan terhadap Aparatur Bukan Kejadian Pertama
Tavip mengungkapkan bahwa kasus seperti ini bukan hal baru dan telah terjadi berulang di berbagai daerah.
“Di Depok tahun 2014, kami diserang sampai harus disidang di Bandung pelakunya. Di Pekanbaru ada Jurusita yang hampir ditusuk lehernya. Hampir di seluruh Indonesia kejadian seperti ini muncul ketika pihak yang dirugikan menolak putusan,” ujarnya.
Menurutnya, lemahnya pengamanan saat eksekusi masih menjadi masalah serius, meski polisi biasanya ikut mendampingi.
Menanggapi berbagai kejadian kekerasan, Sobandi menilai negara perlu hadir memperkuat sistem pengamanan aparatur peradilan.
“Kami sudah mengusulkan pembentukan polisi khusus pengadilan. Saat ini pengamanan hanya dilakukan oleh satpam, sementara ancaman fisik kian meningkat,” kata Plt. Kepala Biro Hukum dan Humas MA.
MA berharap pemerintah dan DPR dapat segera membahas dan menyetujui penguatan pengamanan tersebut.
Sementara itu, Tavip menilai bahwa rendahnya kepatuhan masyarakat terhadap putusan pengadilan merupakan salah satu penyebab utama munculnya kekerasan dalam proses eksekusi.
“Putusan sudah inkracht, tetapi sering tidak dihormati. Seharusnya pihak yang kalah menyerahkan secara sukarela, namun kenyataannya sering terjadi penolakan bahkan serangan fisik,” ujarnya.
IPASPI meminta negara memastikan jaminan keselamatan bagi Panitera, Jurusita, dan aparatur peradilan lainnya.
“Kekerasan terhadap Panitera adalah bentuk teror. Negara harus hadir memberikan perlindungan agar kekuasaan kehakiman benar-benar merdeka,” tegas Tavip.








