HukumID.co.id, Jakarta – Marubeni Corporation (Marubeni) melalui kuasa hukumnya, Nur Asiah dan Mochamad Ridha Avisena melayangkan surat protes kepada Ketua Mahkamah Agung (MA) Soenarto dan Ketua Kamar Perdata MA I Gusti Agung Sumanatha terkait putusan perkara No. 1362 PK/PDT/2024.
Surat protes tersebut dilayangkan karena kuasa hukum menilai putusan itu telah melanggar pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Jika Merujuk pada pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim agung tidak boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan perkara sebelumnya. Apabila dilakukan maka putusan tersebut tidak sah dan harus diadili kembali dengan majelis hakim agung yang berbeda,” kata Nur Asiah dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/12/2024).
Dalam surat tersebut, kuasa hukum mendapatkan informasi dari website https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, terlihat jelas susunan Majelis Hakim Agung dalam perkara tersebut terdiri dari Ketua Majelis : Syamsul Ma’arif, S.H., LL.M., Phd., Anggota I : Dr. Lucas Prakoso, S.H., M.Hum., Anggota II : Agus Subroto, S.H., M.Kn.
Bahwa ternyata Majelis Hakim Agung dalam perkara No. 1362 PK/PDT/2024, pernah mengadili perkara yang berkaitan pada Tingkat Peninjauan Kembali. Tentu ini melanggar UU Kekuasaan Kehakiman.
“Berdasarkan Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009, seorang hakim wajib mengundurkan diri dalam mengadili perkara, apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendanya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara,” jelas Nur Asiah.
Advokat dari Lucas & Partners ini mengklaim, dalam kurun waktu kurang dari sebulan, kliennya telah dirugikan akibat putusan cacat formil tersebut.
“Dimana patut diduga bahwa Majelis Hakim Agung dalam perkara Aquo tidak memeriksa Kontra Memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Marubeni dengan waktu yang cukup,” tandasnya.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman, Majelis Hakim Agung yang memutus perkara ini juga bisa dikenakan sanksi administratif atau bahkan pidana.
“Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bunyi Pasal 17 ayat (6).
Karena itu ia memohon agar putusan Perkara Nomor: 1362 PK/PDT/2024 dinyatakan tidak sah karena melanggar Pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009, dan dilakukan pemeriksaan ulang dengan hakim yang berbeda, demi tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia.
Surat protes ini juga disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Komisi Yudisial, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(MIK)