Ismail Rumadan
Ketua Umum Pemuda ICMI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta
Banjir bandang dan longsor yang melanda wilayah Sumatera – khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat – telah menunjukkan skala kehancuran yang sangat besar. Ribuan nyawa terancam dan banyak di antaranya telah melayang, harta benda luluh lantak, infrastruktur runtuh, dan jutaan masyarakat kehilangan tempat tinggal serta akses dasar kehidupan. Ironisnya, di tengah tragedi kemanusiaan sebesar ini, pemerintah pusat belum menetapkan statusnya sebagai bencana nasional.
Alasan yang dikemukakan? Lagi-lagi soal pertimbangan teknis administratif: syarat-syarat formal seperti kapasitas pemerintah daerah masih dianggap cukup, atau belum semua infrastruktur lumpuh total. Padahal, kita sedang berhadapan dengan tragedi kemanusiaan, bukan sekadar perhitungan teknis yang dingin dan kaku.

Antara Kewajiban Konstitusi dan Kepentingan Praktis
Pasal 28G dan Pasal 30 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ketika rakyat menghadapi bencana yang menyapu luas wilayah dan mengakibatkan kerugian luar biasa, maka perintah konstitusi seharusnya mengalahkan semua alasan administratif. Keputusan untuk tidak segera menetapkan status bencana nasional dapat ditafsirkan sebagai bentuk kelalaian negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.
Jika konstitusi dipegang teguh sebagai kompas moral dan hukum tertinggi, tidak seharusnya ada alasan teknis yang menghalangi pemberian status tersebut. Justru penetapan status bencana nasional seharusnya menjadi langkah awal untuk menggalang solidaritas nasional dan internasional, serta mempercepat mobilisasi sumber daya lintas sektor.
Apakah Pemerintah Terjebak Kepentingan Pragmatis?
Muncul dugaan bahwa pemerintah terjebak dalam kepentingan praktis dan pragmatis, misalnya soal citra stabilitas nasional, anggaran pusat yang terbatas, atau ketakutan akan tekanan politik dan sosial. Ada kekhawatiran bahwa status bencana nasional akan menimbulkan konsekuensi luas: mulai dari tekanan fiskal hingga kerentanan posisi politik.
Namun jika logika ini yang digunakan, maka artinya negara lebih memilih menyelamatkan struktur birokrasi daripada menyelamatkan rakyatnya sendiri. Inilah bentuk kekeliruan moral dan kebijakan yang serius.

Apa yang Menjadi Hambatan?
Salah satu hambatan utama dalam penetapan status bencana nasional adalah kuatnya dominasi pendekatan teknis administratif dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah kerap beralasan bahwa pemerintah daerah di wilayah terdampak masih dianggap mampu menangani bencana, sehingga tidak ada urgensi untuk mengalihkan status penanganan ke tingkat nasional. Selain itu, status bencana nasional seringkali disyaratkan dengan adanya kerusakan total terhadap sistem pemerintahan lokal—padahal, kerusakan yang tidak total pun bisa berdampak besar pada efektivitas penanganan di lapangan.
Hambatan lain yang sering muncul adalah tidak tercapainya ambang batas tertentu dalam hal jumlah korban jiwa maupun kerugian materiil, berdasarkan parameter-parameter yang seringkali terlalu sempit atau tidak adaptif terhadap situasi di lapangan. Di luar itu, pertimbangan fiskal juga turut memengaruhi keputusan: pemerintah pusat cenderung berhitung soal konsekuensi anggaran dan pembagian tanggung jawab biaya antara pusat dan daerah. Alhasil, keputusan yang seharusnya didorong oleh kepentingan kemanusiaan dan konstitusional justru terhambat oleh pertimbangan teknokratis dan birokratis yang kaku.
Namun, semua alasan ini tidak relevan dalam konteks tanggap darurat kemanusiaan. Kriteria yang digunakan tampak seperti instrumen perlindungan negara terhadap dirinya sendiri, bukan perlindungan terhadap rakyat.
Kita Butuh Paradigma Baru Penanganan Bencana
Negara seharusnya tidak hanya melihat bencana dari sisi administratif dan statistik. Kita perlu pendekatan yang lebih humanistik, berbasis empati dan solidaritas. Penetapan status bencana nasional seharusnya tidak dipandang sebagai kelemahan negara, tapi sebagai bentuk ketegasan moral bahwa negara hadir, tanpa syarat, ketika rakyatnya membutuhkan.

Penutup
Bencana besar di Sumatera bukan sekadar peristiwa lokal—ini adalah ujian terhadap integritas negara dalam menjalankan perintah konstitusi. Penundaan penetapan status bencana nasional bisa menjadi preseden buruk, yang menunjukkan bahwa nyawa dan penderitaan rakyat bisa saja ditunda pengakuannya karena alasan birokratis.
Negara harus bertindak sebagai pelindung, bukan pengamat. Dan saat rakyat berteriak dalam lumpur dan reruntuhan, diamnya negara adalah sebuah pengkhianatan.












