HukumID.co.id, Jakarta – Bertempat di Universitas Pelita Harapan di Plaza Semanggi, Gedung Veteran Jl. Jend Sudirman, Jakarta 5 Desember 2024 lalu menjadi hari yang bersejarah bagi Dr. Tomson Situmeang SH, MH atas ujian terbuka guna mencapai gelar Doktor Hukum pada Program Pascasarjana S3 (Strata 3) Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan.
Tim penguji desertasi Tomson Situmeang diantaranya Dr (Hon) Jonathan L. Parapak, M. Eng.Sc selaku Ketua Sidang, Prof. Dr. Bintan R. Saragih selaku promotor, Dr. Bernard Nainggolan SH.MH selaku Ko-Promotor, Prof. Dr. Satya Arianto SH.MH selaku oponen ahli, Prof. Dr. Dhaniswara K. Harjono SH.MH. MBA selaku oponen ahli, Assoc. Prof. Dr. Velliana Tanaya SH.MH selaku oponen ahli, Asscoc. Prof. Dr. Henry Soelistyo Budi SH.LLM selaku oponen ahli, Assoc. Prof. Dr. Thomas Tokan Pureklolon M.Ph.MM.M.Si dan Dr. Dwi Putra Nugraha SH.MH selaku oponen ahli.
Adapun judul desertasi yang diangkat Tomson Situmeang “ Keberadaan ketetapan MPR dalam sistem hukum Indonesia pasca amademen Undang-undang Dasar Tahun 1945”.
Dijelaskan Tomson ketetapan MPR tidak pernah diatur secara eksplisit dalam Undang Undang Dasar atau konstitusi MPRS nomor 1/MPRS/1960 tahun 1960 tentang manifesto politik RI sebagai GBHN MPR(S).
Baru pada 1966, keluar Ketetapan MPR(S) yang mengatur tata urutan perundangan RI yaitu, ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966 tahun 1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum RI dan tata urutan perundangan RI yang menempatkan atau mendudukan ketetapan MPR dalam tata urutan peraturan perundang undangan di bawah UUD dan di atas UU Perppu.
Selanjutnya dipertegas dengan ketetapan MPR nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urusan peraturan perundang undangan yang tetap menempatkan ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang undangan di atas UU dan di bawah UUD, urainya.
Setelah UUD 1945 mengalami amandemen, kata Tomson melanjutkan, MPR tidak ada lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN, sehingga UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang undangan tidak lagi menempatkan ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang undangan yang ada di Indonesia, ujarnya.
Keberlakuan ketetapan MPR Tomson melihat memang mengalami pasang surut setelah UUD 1945 mengalami amandemen sebanyak 4 kali, Dimana MPR tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan GBHN, sehingga dianggap tidak lagi berwenang membuat ketetapan MPR (yang bersifat regeling). UU No. /2004 tidak lagi menempatkan ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang undangan yang ada di Indonesia, namun kata Tomson UU No. 12/2011 kembali memasukkannya ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang undangan “secara terbatas’ di atas UU Perppu dan di bawah UUD sebagaimana kentuan pasal 7 dan penjelasannya, jelasnya.
Masih kata Tomson, ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan syarat dan ketentuan yang diatur dalam ketetapan MPR nomor 1/MPR/2003, ternyata seluruh syarat dan ketentuan yang diatur dalam ketetapan tersebut sudah dipenuhi.
Namun kata Tomson ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 12/2011 menegaskan bahwa termasuk peraturan yang ditetapkan oleh MPR diakui keberadaannya serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya, tuturnya.
Ditegaskan Tomson Situmeang kembali, bahwa pasca amendemen UUD 1945, MPR tidak lagi menjadi Lembaga tertinggi negara dan tidak lagi menetapkan GBHN yang harus dijalankan oleh Presiden.
Bahkan kata Tomson, kewenangan terkait Undang Undang dasar juga sudah “dibatasi” hanya mengubah dan menetapkan, tidak lagi berwenang membuat Undang Undang Dasar “yang baru”.
Padahal, lembaga sejenis MPR di beberapa negara lain menempatkan lembaga sejenis MPR dengan kewenangan yang cukup luas, seperti kongres Amerika Serikat, Kongres Rakyat RRT, Dewan Negara Belanda dan Thailand, ungkap Tomson.
Untuk itu Tomson Situmeang bersaran, keberadaan MPR dalam tata urutan peraturan perundang undangan di Indonesia, yang diakui sebagai jenis peraturan perundang undangan, yang hierarkinya berada di atas undang undang dan di bawah Undang Undang Dasar.
Seharusnya, keberlakuannya tidak dibatasi atau dinegasikan dengan Undang Undang yang secara hierarki merupakan peraturan perundang undangan di bawah ketetapan MPR itu sendiri, merujuk pada teori hierarki perundang undangan kata Tomson, maka seharusnya ketentuan Undang Undang yang mengatur keberlakukan ketetapan MPR dikesampingkan oleh ketapan MPR itu sendiri sebagai peraturan yang lebih tinggi dari Undang Undang, pungkasnya.
LT