DILEMATIS Advokasi Hukum di Indonesia: Antara Idealitas dan Efektivitas

Jurnal505 Dilihat

Oleh: Frits R Dimu Heo, S.H., M.si.

Tantangan penegakan hukum Indonesia era milenial  kerap inkonsisten. Hal ini menjadi pergumulan berat dari organisasi advokasi hukum. Sebenarnya mereka hadir sebagai penjaga nilai-nilai keadilan, hak asasi manusia, dan supremasi hukum. Namun, secara das sein  organisasi ini tidak  luput dari masalah klasik: apakah tetap menjadi watchdog  independen di luar sistem, atau masuk dalam lingkaran sistem demi efektivitas perubahan?

Mau Independen: Harus berani Menggugat, Tapi Terbatas !!

Sebagaimana kita ketahui, Organisasi seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan KontraS dikenal vokal dan kritis soal  kebijakan negara, terutama dalam kasus pelanggaran HAM baik berat maupun ringan, peradilan sesat, dan kekerasan aparat. Kadang mau dikata mereka menempuh jalan sunyi: berdiri di luar kekuasaan dan memilih jalur litigasi publik, kampanye hukum, serta pendidikan kritis hukum kepada masyarakat akar rumput[^1].

Akan tetapi, cara pendekatan ini memiliki keterbatasan. Tak terhitung jumlah kasus yang mereka dampingi berakhir tragis dan buntu di pengadilan dan bahkan  mereka sendiri kerap diintimidasi oleh aktor negara. Pada sisi lain, mereka tidak diberi akses dalam meja pembuatan kebijakan atau regulasi hukum dalam rangka  mendorong reformasi sistem hukum di Indonesia.

“Advokasi hukum bukan  soal menang di pengadilan, tapi menciptakan kesadaran hukum masyarakat. Tapi ketika negara sendiri abai, kerja kami terasa seperti menambal lubang di kapal bocor,” — (Wawancara dengan pengacara publik YLBHI, 2022).

Langkah Kolaborasi : Efektif Masuk Sistem, Namun Risiko Kompromi :

Organisasi advokasi jika memilih pendekatan masuk dalam sistem, misalnya mengisi posisi strategis di lembaga hukum negara atau menjalin kemitraan dengan institusi pemerintah, contoh melalui program bantuan hukum negara (JPN) atau program reformasi hukum. Misalnya, kerja sama antara LBH APIK dengan Kementerian PPPA dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan[^2].

Cara pendekatan ini membuka ruang untuk advokasi melaksanakan edukasi hukum atas kebijakan yang sistemik. Akan tetapi, posisi ini dilematis karena rentan disalahartikan: mereka bisa dicurigai sebagai “organisasi pembela pemerintah”, dan bahkan diinternalisasi menjadi bagian birokrasi yang lambat dan kompromistis.

“Ketika kami masuk sistem, kami membawa perspektif korban ke ruang kebijakan. Tapi kami juga ditantang menjaga integritas agar tidak menjadi perpanjangan tangan negara,” — (Direktur eksekutif LBH APIK Jakarta, 2023).

Solusi Mencari Jalan Keluar  :  Lakukan advokasi Hukum Strategis

Pada kenyataan sekarang  menunjukkan bahwa belum ada satu cara strategi advokasi hukum yang ideal. Pergumulan berat sekarang  adalah bagaimana mengkolaborasi kekuatan basis akar rumput masyarakat dengan kecakapan teknokrat dalam merumuskan kebijakan. Banyak organisasi mencoba pendekatan ganda: tetap vokal di isu publik, namun juga aktif dalam merumuskan  naskah akademik RUU, juga ikut dalam uji materi ke Mahkamah Konstitusi, atau duduk sebagai amicus curiae dalam perkara penting.

 advokasi terhadap UU Cipta Kerja  dan UU TNI misalnya, menunjukkan bagaimana gabungan organisasi masyarakat sipil — termasuk bidang hukum — mampu memobilisasi protes publik dan juga menempuh jalur konstitusional[^3].

Terakhir : Hukum kalah dan tidak Netral, Pilihan Pun Sulit. :

Sebenarya sesuai misi dan visi Advokasi hukum di Indonesia berada dalam area netral namun  dalam pelaksanaanya itu tidak netral. Hukum kerap dijadikan  alat kekuasaan, bukan keadilan. Dalam situasi seperti  ini, organisasi advokasi hukum saatnya berefleksi diri : sebenarnya apa tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, dan bagaimana cara dan strategi yang efektif untuk konteks sekarang dan hari ini?

Untuk  mereka memilih menjadi pengacara publik di garis depan demonstrasi, juga sisi lain bagi mereka yang aktif  ikut menyusun kebijakan di meja parlemen, semuanya dihadapkan pada risiko. Sebenarnya tugas  utama mereka baik pengacara “watch dog”  maupun pengacara dalam sistem   adalah menjaga keberpihakan pada korban, pada keadilan substantif, dan tidak terjebak menjadi pelengkap sistem hukum yang timpang.

Referensi

[^1]: https://tokoh.id/berita/lorong-kata/menolak-diam-perlawanan-sunyi-terhadap-civilphobia/ dan  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. (2021). Laporan Tahunan YLBHI 2020: Menolak Diam di Tengah Ancaman Demokrasi. https://ylbhi.or.id

[^2]: Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). (2023). Laporan Kerja Sama Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2022–2023.

[^3]: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja. (2021). https://www.mkri.id

CV PENULIS :

Penulis adalah lulusan S1 Hukum dan S2 Program Pasca Sarjana Study Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Bekerja di Bank NTT selama 30 Tahun dan sekarang memilih menjadi pemerhati masalah sosial dan hukum.

Tinggal di Kota Kupang NTT menikmati hidup bersama keluarga (slow living).