Pakar Psikologi Forensik : Penyidik Patut Cermati Perbedaan Bullying dan Ragging

Hukum460 Dilihat

HukumID.Co.id, Jakarta – Pakar Psikologi Forensik Universitas Indonesia Reza Indragiri Amriel menyebutkan dalam kasus dugaan perundungan yang dilakukan Genk Tai terhadap terduga korban AF siswa Sekolah Menengah Atas Binus School, Serpong Tangerang Selatan pihak kepolisian patut bisa membedakan antara tindakan bullying dan ragging.

Terhadap kasus dugaan bullying atau perundungan yang menyeret anak artis Vincent Rompies ini, Reza mengatakan,”Kekerasan siswa terhadap siswa lain tidak mutlak berupa bullying. Polisi patut mencermati secara spesifik, mana bullying dan mana ragging,” pada sesi berita dalam Kompas TV Siang, Sabtu (25/02/2024)

Menurut Reza masyarakat banyak belum paham istilah ragging, masyarakat atau lembaga lebih mengetahui istilah bullying atau perundungan maka ragging belum ada sinonim dalam bahasa Indonesia, Reza menegaskan baik bullying maupun ragging adalah sama-sama tindak kekerasan.

“Ragging adalah tindakan seorang anak atau siapapun dengan sengaja mendekati geng yang dikenal tidak baik agar bisa bergabung ke dalamnya. Dan orang tersebut, atau anak tersebut tahu bahwa setiap anggota baru akan dikenai perlakuan tidak senonoh dan segala bentuk kekerasan.” Jelas Reza.

Kemudian lanjutnya, bergabunglah anak atau seseorang tadi ke dalam geng tersebut dan menjalani ritual atau seremoni kekerasan yang memang merupakan identitas atau budaya geng itu.

“Kalau kronologinya seperti itu, maka kekerasan yang menimpa anak tersebut tidak bisa serta-merta dikategori sebagai bullying. Itu adalah ragging,” tandas Reza menegaskan.

Jika dibandingkan dalam perilaku bullying, dikotomi pelaku dan korban sangat jelas. Sedangkan dalam ragging, relasi antar anak atau seseorang tadi tidak lagi hitam putih. Apalagi jika si anggota baru bertahan dalam geng tersebut, maka ia pun sesungguhnya bukan korban, Jelas Reza.

“Pelaku ragging keinginannya atau mindsetnya adalah ia secara sengaja melalui “masa belajar” untuk kelak menjadi pelaku kekerasan pula, walupun dirinya harus melalui kekerasan pula untuk bergabung.” Ungkapnya.

Betapa pun si anggota baru babak belur, tetap saja anak atau seseorang tadi awalnya bukan korban bullying. Kecuali andai saat dipukuli si anggota baru itu merasa sakit, tak sanggup bertahan, ingin berhenti, apalagi jika ia minta agar tak lagi digebuki, namun anggota-anggota lama terus menghujaninya dengan pukulan, maka pada saat itulah ragging berubah menjadi penganiayaan.

Reza menegaskan, baik bullying maupun ragging, keduanya memang harus disetop. Namun dengan mengidentifikasi secara akurat apakah kejadian yang polisi tangani sesungguhnya merupakan bullying atau ragging, proses penegakan hukum akan berjalan tepat sasaran.

“Atas dasar itupun agar masyarakat bisamenakar sebesar apa simpati perlu diberikan.” ucap Reza menutup keterangannya.

Terkait kasus dugaan perundungan siswa Binus School yang ditangani Polres Tangerang Selatan, hingga saat ini Polisi sudah memeriksa sebelas saksi terdiri dari orang tua terduga pelaku dan saksi dan sudah menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan, akan tetapi penyidik Polres Tangerang Selatan belum menentukan apa motif di balik tindakan ini. (Acil Akhiruddin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *