PRO DAN KONTRA TABUNGAN PERUMAHAN RAKYAT (TAPERA) 

Jurnal1905 Dilihat

Penulis: Michelle Prawira (Legal Specialist – IR Specialist) & Jonathan Aland Komala (Advokat di Yogyakarta)

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (PP 21/2024) melengkapi beberapa regulasi sebelumnya mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA). Dewasa ini, ketentuan TAPERA tersebut telah menjadi pusat perhatian publik. Menurut para penulis, TAPERA ini memang menjadi perdebatan khususnya implementasi pada pekerja swasta yang baru-baru ini diatur dalam PP 21/2024. Beberapa hal yang menjadi Pro dan Kontra diantaranya:

banner 600x600

Pro TAPERA

TAPERA merupakan inisiatif pemerintah Indonesia yang mewajibkan pekerja untuk menyisihkan 3% dari penghasilannya sebagai simpanan khusus. Dalam membingkai sudut pandang pro terhadap TAPERA, maka artikel ini akan menganalisis beberapa pertanyaan maupun keresahan publik terkait TAPERA.

banner 600x600

Apa tujuan TAPERA?

Badan Penyelenggara TAPERA (BP TAPERA) menetapkan skema pembiayaan perumahan yang meliputi pembiayaan untuk pemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah. Selain itu, pemanfaatan dana TAPERA juga dapat dilakukan untuk pembiayaan perumahan bagi peserta TAPERA. Lebih lanjut, pada salah satu bagian Penjelasan PP 25/2020, dilansir bahwa dana TAPERA bertujuan salah satunya untuk memberikan solusi atas permasalahan pembiayaan perumahan, antara lain daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (affordabilityl), ketersediaan dana (availability), akses ke sumber pembiayaan (accessibility), dan keberlanjutan pembiayaan (sustainability).

banner 600x600

Bagaimana jika Peserta TAPERA sudah memiliki rumah tinggal? 

Namun, bagi peserta non-MBR yang telah memiliki rumah tinggal, simpanan TAPERA dapat berfungsi sebagai tabungan hari tua. Dana tersebut dapat dicairkan kembali sesuai jumlah setoran ditambah dengan bunga setorannya setelah peserta yang bersangkutan pensiun. Hal ini mungkin dapat bermanfaat bagi pekerja informal seperti pekerja harian, pekerja lepas, dan pekerja rumah tangga yang kerap tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial. Dalam sektor informal, banyak pekerja yang tidak mendapatkan perlindungan atau manfaat yang biasanya diterima oleh pekerja formal, seperti pensiun atau asuransi kesehatan. Melalui TAPERA, pekerja informal dapat menabung secara teratur untuk kebutuhan perumahan mereka, dengan kontribusi yang dikelola dan diinvestasikan oleh lembaga yang ditunjuk. Hal ini tidak hanya membantu mereka dalam mewujudkan impian memiliki rumah sendiri tetapi juga memberikan kepastian finansial di masa depan. Dengan demikian, TAPERA menawarkan solusi yang inklusif dan berkelanjutan untuk masalah perumahan yang dihadapi oleh pekerja informal di Indonesia.

Kendati demikian, sosialisasi terkait TAPERA dinilai belum merata, sehingga pertanyaan maupun kritik sebagaimana dianalisis di atas bermunculan menjadi bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Terlepas dari keresahan publik di atas, masih terdapat beberapa celah implementasi TAPERA yang dinilai perlu mendapatkan perhatian pemerintah.

Kontra TAPERA

Missed on Obvious Solutions to a Problem (Ketidakjelasan Solusi terhadap Permasalahan)

Pakar tata kota, Yayat Supriyatna, menjelaskan bahwa kesulitan masyarakat dalam membeli rumah disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu, harga tanah yang semakin mahal, daya beli yang rendah, dan ketidakmampuan untuk kredit karena gaji habis untuk kebutuhan sehari-hari. Pertama, harga tanah yang terus meningkat membuat biaya pembangunan rumah menjadi tidak terjangkau bagi banyak orang. Kedua, daya beli masyarakat yang rendah berarti banyak individu dan keluarga tidak memiliki cukup tabungan atau pendapatan untuk menutupi biaya awal pembelian rumah. Ketiga, sebagian besar pendapatan masyarakat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga mereka tidak memiliki sisa dana untuk membayar cicilan kredit perumahan. Kombinasi dari ketiga faktor ini menciptakan hambatan signifikan bagi masyarakat dalam upaya mereka untuk memiliki rumah sendiri.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor utama masalahnya adalah MBR tidak memiliki kesanggupan untuk menyisihkan dananya dalam membeli rumah. Apabila kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru “menarik paksa” bagian dari penghasilan mereka, solusi tersebut dirasa tidak tepat dengan masalah utama yang ada. Langkah ini berpotensi memperburuk kondisi keuangan MBR yang sudah terbebani oleh kebutuhan sehari-hari, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih tepat adalah yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan memberikan dukungan finansial yang lebih langsung, seperti subsidi perumahan atau program bantuan pembiayaan yang fleksibel dan sesuai dengan kemampuan ekonomi MBR.

Selain itu, esensi TAPERA kalau memang merupakan “tabungan” atau “pembiayaan”, maka seharusnya skema pembiayaannya berupa bantuan iuran dari pemerintah, bukan diserahkan kepada pemberi kerja maupun pekerja untuk membayarkan iuran setiap bulannya. Hal ini bisa masuk sebagai bantuan sosial di samping bantuan yang telah didistribusikan oleh Presiden Jokowi diantaranya Bansos Beras (Juni 2024), Bantuan Langsung Tunai (Januari – Februari 2024), Program Keluarga Harapan (Tahap I: Januari –Maret 2024, Tahap II: April-Juni 2024, Tahap III: Oktober – Desember 2024), Program Bantuan Non Tunai (dua bulan sekali), Program Indonesia Pintar (untuk 18,59 juta SD, SMP, SMA/SMK), sehingga untuk TAPERA diharapkan dapat menjadi bantuan sosial pada tahun 2027. Hal ini dinilai lebih bermanfaat sehingga tidak menimbulkan keberatan / kerugian bagi pemberi kerja dan pekerja swasta yang kemampuan keuangannya tidak besar.

Target Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

Kebijakan TAPERA menimbulkan banyak pertanyaan meskipun secara ketentuan akan berlaku tahun 2027. Mulai dari menjadi potongan baru dalam upah yang diterima, bagaimana jika pekerja sudah memiliki rumah, hingga apakah boleh menolak atau tidak menjadi peserta TAPERA. Seharusnya, program TAPERA tidak dipaksakan untuk semua golongan masyarakat. Bila memang tujuan utamanya untuk membantu MBR, maka tidak semestinya pekerja yang telah memiliki rumah diwajibkan untuk mengikuti program TAPERA. Memang butuh waktu yang panjang untuk dapat mengklasifikasikan target Peserta TAPERA yang tepat, namun dibanding mengesahkan secara terburu-buru, ada baiknya pemerintah lebih mendalami kajian maupun pertimbangan dalam mengesahkan suatu kebijakan. Mengingat bahwa tujuan TAPERA, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan PP 25/2020, adalah untuk memberikan solusi atas permasalahan pembiayaan perumahan, termasuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (affordability), ketersediaan dana (availability), akses ke sumber pembiayaan (accessibility), dan keberlanjutan pembiayaan (sustainability). Dengan pendekatan yang lebih cermat dan tepat sasaran, TAPERA dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi mereka yang benar-benar membutuhkan tanpa menambah beban bagi pekerja yang sudah memiliki rumah atau yang berada dalam situasi finansial yang berbeda. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak menjadi beban tambahan bagi masyarakat, melainkan benar-benar menjadi solusi yang inklusif dan berkelanjutan untuk permasalahan perumahan di Indonesia.

Lebih lanjut, menurut hemat para penulis maka sejatinya PP 21/2024 telah berlaku mengikat sejak diundangkan tanggal 20 Mei 2024. Oleh karenanya apabila terdapat pihak-pihak yang keberatan dengan PP 21/2024 maka dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan permohonan Uji Formil atau Uji Materiil ke Mahkamah Agung untuk dimungkinkan dibatalkan. Hak uji materiil (HUM) adalah hak yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap perhaturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 

Lebih lanjut, menurut Johan Imanuel, salah satu anggota Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, dalam wawancara langsung Para Penulis (3/6/2024) melalui pesan tertulis dijelaskan terkait pengaturan peraturan perundang-undangan sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Peraturan Perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2). Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;  Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). Selain peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang- Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat, yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) sehingga dari segi pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksud dibawah undang-undang maka dapat diuji formil atau materiil ke Mahkamah Agung. 

Kritik Terhadap Respons Pemerintah

Dalam menanggapi ketidaksetujuan publik terhadap kebijakan TAPERA, Presiden Joko Widodo menilai bahwa protes maupun kritik publik merupakan hal yang telah diperhitungkan sebelumnya. Presiden Joko Widodo merujuk pada pengalaman serupa saat pemerintah menerbitkan kebijakan BPJS. dimana masyarakat mengajukan protes dan kritik, namun setelah kebijakan berjalan dan manfaatnya mulai terasa, situasi kembali normal. Namun, dalam konteks TAPERA—seyogianya pemerintah menunjukkan sikap proaktif dan responsif dalam menerima maupun menanggapi reaksi publik.  

Pernyataan Presiden yang membandingkan situasi TAPERA dengan BPJS menunjukkan bahwa pemerintah cenderung menganggap protes masyarakat sebagai hal yang sementara dan akan mereda seiring waktu. Namun, setiap kebijakan memiliki konteks dan implikasi yang berbeda. TAPERA, sebagai skema tabungan perumahan, memiliki dampak langsung terhadap keuangan individu, terutama bagi pekerja dengan pendapatan menengah ke bawah. Idealnya, pemerintah harus menunjukkan sikap proaktif dalam menjawab keluhan dan kritik masyarakat. Ini berarti menyediakan forum dialog yang transparan dan membuka ruang bagi partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. 

Berdasarkan uraian diatas, menurut para penulis, Peraturan Pemerintah 21/2024 cenderung tidak mewujudkan asas – asas keadilan, asas pembentukan peraturan pembentukan peraturan perundang undangan. Oleh karena itu, para penulis mencermati kemungkinan besar peraturan pemerintah tersebut menimbulkan problematika dan banyak kalangan akan menguji keabsahannya di Mahkamah Agung Republik Indonesia karena merupakan peraturan perundang undangan dibawah undang-undang.