HukumID.co.id, Jakarta – Muncul tudingan bahwa Film Dirty Vote yang membahas dugaan kecurangan Pemilu serta tayang di masa tenang berpihak ke salah satu pasangan calon (paslon). Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fisipol UGM Zainal Arifin Mochtar menjadi salah satu narasumber film itu, menegaskan film Dirty Vote tidak berpihak. Dia menerangkan materi film dokumenter Dirty Vote ini berdasarkan riset. Dia dan dua narasumber lainnya Bivitri Susanti dan Feri Amsari mengurasi data secara terperinci.
“Kita perdebatkan substansi datanya dengan cara penyajiannya plus kuat atau tidak. Saya harus bilang itu, ada beberapa hal yang kita buang, tidak bisa dinaikkan karena buktinya enggak kuat,” kata Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi Film Dirty Vote di Kampus Fisipol UGM, Selasa (13/2/2024).
Zainal Arifin Mochtar Yang Merupakan Narasumber Film Dirty Vote (Sumber: YouTube Channel Dirty Vote)
Uceng juga merespons sederet kontroversi yang muncul usai film Dirty Vote tayang. Mulai dari tudingan berpihak hingga propaganda. Berikut sederet pernyataannya soal tudingan terkait film Dirty Vote.
- Bentuk Kritik ke Jokowi
Uceng sapaannya, menegaskan film itu hadir berdasarkan realitas. Dia menyebut realitas itu ditujukan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diduga memanfaatkan jabatan, kebijakan, dan fasilitas negara.
“Kebetulan yang kami tembak ini yang dekat ke salah satu paslon. Kami tembak Presidennya, Presiden persis berdiri di salah satu paslon. Makanya di situ kenanya banyak, tapi apakah 03 tidak? Bisa dilihat 03 kita kasih 01 kita kasih, sepanjang data kita dapatkan,” paparnya.
Dia menyebut kehadiran film ini bukan bertujuan untuk memakzulkan Jokowi tapi untuk mengajak masyarakat cerdas memilih. Dia berharap masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya dengna bijak.
“Silakan ke bilik suara lakukan penghukuman, bukan electoral. Datanglah ke bilik suara, siapa yang merusak demokrasi jangan dipilih, saya bilang Pemilu adalah kudeta yang paling konstitusional. Kedua ada sisi etikanya, lakukan penghukuman etika,” jelasnya.
- Tepis Tendensius
Uceng menepis jika film Dirty Vote disebut tendensius. Dia menerangkan karena Jokowi berpihak pada paslon capres-cawapres 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, maka hal ini yang membuat film ini seakan berat ke salah satu sisi.
“Dibilang tidak berimbang karena Pak Jokowinya di situ. Kalau Pak Jokowi istikamah di 03, kritik itu akan lain. Ini kan karena tiba-tiba Pak Jokowi belok tanpa sein,” ucapnya.
- Bukan Propaganda
Uceng juga menegaskan film Dirty Vote ini bukan bentuk propaganda. Uceng menerangkan tak ada ajakan untuk memilih paslon tertentu dalam film ini.
“Ini bukan propaganda, nggak ada kaitan mau milih siapa. Tapi saya kira teman-teman bisa melihat isu terkini berkaitan dengan soal hukum tata negara,” ungkap dia.
- Film Dibuat dari Sudut Pandang Pelajar Tata Negara
Dia menyebut film ini mengangkat isu tata negara sehingga kaca mata yang digunakan sudut pandang seorang yang belajar tata negara.
“Pakailah baju ketika melihat film ini adalah sebagai seorang pembelajar, orang yang sedang mau belajar tata negara. Karena sebenarnya tadi banyak sekali isu tata negara yang berseliweran,” jelasnya.
“Mulai dari soal sistem presidensiil, sistem pengawasan, keuangan negara, kelembagaan negara, bahkan ada soal mahkamah konstitusi, hukum acara mahkamah konstitusi,” sambungnya.
Di sisi lain, Ia menyebut film Dirty Vote merupakan produk akademis. Data yang disajikan sesuai dengan kejadian yang terjadi selama ini. Indikasi kecurangan pemilu, kata dia, didapat dari pemberitaan sejumlah media massa dan dikuatkan dengan riset dan kajian.
“Sesuai yang saya bilang tadi, ini pekerjaan kliping. Itu petikan sejarah yang kita sulam secara sistematis bentuknya bukan kliping koran, tapi kliping digital,” tegas dia lagi.
- Pertanyakan Dasar Pelaporan ke Bareskrim
Zainal Arifin Mochtar juga menanggapi santai laporan polisi yang dilayangkan Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi). Foksi diketahui melaporkan para narasumber dan juga sutradara Dirty Vote ke Bareskrim Polri.
Diketahui, Foksi melaporkan dengan Pasal 287 ayat 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ia dianggap mengganggu kondusivitas saat hari tenang Pemilu. Dalihnya adalah unggahan film pada tanggal 11 Februari 2024 yang bertepatan dengan hari tenang pertama.
“Pasal 287 harusnya Bawaslu, pelanggaran pemilu berarti Bawaslu, silakan saja, tapi logika saya (Pasal) 287 itu Bawaslu,” jelasnya.
Ia mengaku belum tahu detail soal pelaporan itu. Termasuk hal yang menjadi pertimbangan laporan. Meski begitu, dia bersikukuh jika UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah kewenangan Bawaslu bukan Bareksrim Polri.
“Saya enggak tahu detail laporannya, karena bacanya juga di media. Pasal apa dilaporkan, dalam konteks apa, pelanggaran UU apa, saya enggak tahu apakah memang di Bareskrim. Kalau pelanggaran UU 7 harusnya di Bawaslu, terus terang saya baru baca media dan substansinya belum tahu,” pungkasnya. (Insan Kamil)