HukumID.co.id, Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) menduga adanya korupsi pemotongan dan penyalahgunaan Dana Honorarium Penanganan Perkara (HPP) Bagi Hakim Agung Tahun Anggaran 2022-2023-2024 dan/atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mencapai Rp97 miliar.
Dalam penetapan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, tertuang hak honorarium bagi para hakim agung yang menimbulkan kontroversi dan dugaan adanya tindak korupsi.
“(PP) itu mendasari hakim agung berhak atas honorarium dalam penanganan perkara kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) paling lama 90 hari kalender sejak perkara diterima oleh unit penerima surat pada Ketua Majelis sampai perkara dikirim ke pengadilan pengaju, sebagaimana yang tercantum dalam Nota Dinas Panitera,” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso melalui siaran persnya, Rabu (11/9).
Namun, kata Sugeng, justru ada pemotongan honor penanganan perkara terhadap hakim agung yang diduga terjadi pada rentang tahun 2022-2024. Sejak 2022, pembayaran honor penanganan perkara terhadap para hakim agung dilakukan dengan cara penyerahan uang tunai dan disertai tanda terima dalam dua bentuk yakni bukti tanda terima hakim menerima seluruh honor dan bukti tanda terima honor telah dipotong.
Pada 12 September 2023, landasan pemotongan dituangkan dalam Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung yang terakhir Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI Nomor: 649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tertanggal 23 Agustus 2023 tentang Perubahan atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor: 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2023 dan Nota Dinas Panitera MA Nomor: 1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) Tahun 2023.
Sugeng juga menjelaskan, tata cara penyerahan honor penanganan perkara hakim agung diawali dari kepaniteraan Mahkamah Agung (MA), Asep Nursobah, sebagai penanggungjawab Honorarium Penanganan Perkara (HPP) hakim agung.
Asep Nursobah, kata Sugeng, menyiapkan laporan majelis yang menyelesaikan perkara dalam waktu 90 hari. Selanjutnya, Sugeng mengungkapkan, Asep mengajukan permintaan pembayaran ke Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai bank yang mengirimkan honor ke masing-masing hakim agung.
Namun, pada hari yang sama, BSI diduga otomatis memotong honor penanganan perkara hingga 26,95 persen dari rekening hakim agung. Sugeng menduga pemotongan honor ini diketahui oleh para pimpinan MA.
Potongan yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari hakim agung, dan dikumpulkan di rekening penampungan yang diduga dikelola oleh AN, kata Sugeng.
“Sehingga patut diduga adanya potongan sebesar 26,95 persen adalah perbuatan korupsi yang terjadi atas sepengetahuan pimpinan Mahkamah Agung dan merugikan para hakim agung yang berhak,” sambungnya.
Sugeng juga mengatakan adanya penolakan dari hakim agung terkait pemotongan honor penanganan perkara itu. Namun, lanjut Sugeng, diduga ada intervensi dari pimpinan MA agar para hakim agung menandatangani surat pernyataan di atas materai agar bersedia honor penanganan perkara dipotong.
Sugeng mengungkapkan, jika hal tersebut benar terjadi, maka apa yang dilakukan pimpinan MA telah melanggar peraturan perundang-undangan. “HPP yang menjadi hak hakim agung diberikan atas dasar Pasal 13 ayat (1) huruf a, juncto Pasal 13 B ayat (1) juncto Pasal 13 C ayat (1) PP Nomor 82 tahun 2021 di mana tidak terdapat aturan pemberian kewenangan pada Sekretaris maupun pimpinan MA untuk melakukan pemotongan,” kata Sugeng.
Mengacu pada laporan MA pada 2023, ujar Sugeng, jumlah perkara yang diputus sebanyak 27.365. Jika diasumsikan pemotongan honor hakim agung sebesar 25,95 persen untuk tiap perkara dan dikalikan dengan tiga majelis hakim, maka hasilnya bisa mencapai Rp47,9 miliar. “Sedangkan tahun 2022 untuk perkara kasasi biasa akan diperoleh pemotongan dana honorarium penanganan perkara hakim agung sebesar Rp49 miliar.
MA Membantah
Mahkamah Agung (MA) membantah adanya dugaan tindak pidana korupsi di MA berupa pemotongan honorarium penanganan perkara (HPP) hakim agung sebesar Rp97 miliar yang beberapa waktu lalu diungkap Indonesia Police Watch (IPW).
“Bahwa tidak ada praktik pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang dilakukan secara paksa dengan intervensi pimpinan Mahkamah Agung,” kata jubir MA Suharto saat konferensi pers di Hotel Royal Ambarrukmo, Sleman, Selasa (17/9/2024).
Dijelaskannya, fakta yang terjadi adalah para hakim agung bersepakat untuk menyerahkan secara sukarela sebesar 40 persen dari hak honorarium penanganan perkara yang diterimanya untuk didistribusikan kepada tim pendukung teknis, dan administrasi yudisial.
“Pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya tersebut dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai yang diketahui oleh ketua kamar yang bersangkutan,” jelasnya.
Untuk memudahkan proses penyerahan sebagian hak hakim agung atas honorarium penanganan perkara tersebut, para hakim agung membuat kuasa kepada Bank Syariah Indonesia untuk melakukan pendebetan dana dari rekening penerimaan HPP masing-masing hakim agung.
“Seluruh hakim agung telah membuat surat pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya atas honorarium penanganan perkara dan surat kuasa pendebetan. Dengan demikian, tidak benar ada hakim agung yang melakukan penolakan,” ujarnya.
Di sisi lain, MA juga membantah IPW terkait dugaan korupsi yang menyeret pimpinan MA. IPW menduga HPP yang didistribusikan kepada penerima hanya sebesar 74,05 persen, sedangkan sisanya sebesar 25,95 persen, digunakan oleh pimpinan Mahkamah Agung untuk kepentingan pribadi.
“Mahkamah Agung menegaskan bahwa pernyataan IPW tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang mencapai Rp 97.020.757.125 adalah tidak benar karena didasarkan pada pengolahan data dan informasi yang keliru,” ungkapnya.
Audit BPK
Suharto menambahkan uang honorarium penanganan perkara itu dibagikan secara habis sebesar 100 persen kepada penerima alokasi sesuai besaran yang ditetapkan.
Dalam hal terdapat pejabat penerima yang tidak terisi baik karena pensiun maupun keadaan lain maka dilakukan redistribusi kepada seluruh penerima.
Suharto menuturkan pernyataan IPW bahwa yang didistribusikan hanya sebesar 74,05 persen adalah tidak benar. Sebab, perhitungan tersebut semata-mata didasarkan pada penjumlah data yang tersaji dalam memorandum panitera MA kepada hakim agung.
“Memorandum tersebut hanya memuat daftar penerima HPP yang ada dalam kamar, sedangkan penerima alokasi HPP lainnya tidak dimuat dalam memorandum tersebut,” ucapnya. Berdasarkan Keputusan Panitera Mahkamah Agung, honorarium penanganan perkara dialokasikan kepada 43 kelompok penerima. Dengan kategori yakni majelis hakim (60%), supervisor (7%), pendukung teknis yudisial (29%) dan pendukung administrasi yudisial (4%).
“Distribusi honorarium penanganan perkara disesuaikan dengan peran dan tanggung jawabnya terhadap penyelesaian perkara pada Mahkamah Agung,” tandasnya.
Penerima HPP, diungkapkan Suharto, dibagi pada dua kategori penerima. Pertama, individual artinya honor diberikan kepada yang bersangkutan untuk dirinya sendiri misalnya Hakim Agung, Panitera Pengganti, dan operator.
Kedua kolektif artinya HPP diberikan kepada yang bersangkutan sebagai perwakilan dari unit kerja. Oleh karena itu untuk yang kolektif, HPP tersebut dibagikan kepada staf yang berada di bawahnya.
Selain itu, ditegaskan Suharto, pelaksanaan pemberian honorarium penanganan perkara telah dilakukan audit oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pada 2023. Hasil audit BPK tidak menemukan adanya indikasi penyimpangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
“Adanya pendistribusian HPP kepada non-hakim agung yang berasal dari pemberian sukarela hakim agung setelah honorarium penanganan perkara diterimakan seluruhnya kepada hakim agung sepenuhnya merupakan persoalan perdata,” pungkas dia.
(HukumID)