Efek pidato Prabowo di PBB: Diplomasi Dua Arah yang Mengguncang Dunia

Opini296 Dilihat

Oleh : Frits R Dimu Heo,SH.MSi

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB 2025 mencuri perhatian dunia. Dengan tegas ia menyerukan kemerdekaan Palestina, sebuah sikap yang konsisten dengan sejarah panjang dukungan Indonesia terhadap bangsa yang terjajah itu. Namun, Prabowo menambahkan kalimat yang membuat forum terdiam: Israel juga berhak atas rasa aman.

Bagi sebagian kalangan, ini sekadar pengingat bahwa perdamaian sejati hanya mungkin terjadi bila kedua belah pihak diakui hak-haknya. Tetapi bagi yang lain, kalimat itu adalah pergeseran besar, bahkan berisiko memunculkan tafsir bahwa Indonesia mulai melunak pada Israel.

Reaksi pun datang cepat. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyambut gembira. Baginya, pernyataan itu memberi ruang legitimasi bahwa Israel bisa diterima, bahkan oleh negara Muslim terbesar di dunia. Netanyahu bahkan mengisyaratkan peluang kerja sama dengan Indonesia dalam teknologi, pertanian, dan kecerdasan buatan jika perang berhenti. Dari Amerika Serikat, Presiden Donald Trump memperlihatkan keseriusannya menyusun sebuah “blueprint perdamaian” berisi 21 langkah, yang antara lain gencatan senjata permanen, pembebasan sandera, dan jalan menuju negara Palestina. Pidato Prabowo, pada titik ini, memberi nuansa tambahan: ada dukungan moral dari dunia Islam untuk sebuah kompromi.

Namun di tanah air, suara tidak sepenuhnya bulat. Mereka yang mendukung menilai Prabowo berhasil menjalankan politik luar negeri bebas aktif: bebas, karena tidak memihak buta; aktif, karena berani berperan di tengah konflik global. Menurut mereka, inilah cara agar Indonesia benar-benar dihormati sebagai penengah. Sebaliknya, kritik datang dari kelompok pro-Palestina yang menilai pernyataan soal keamanan Israel terasa terlalu lembut. Mereka khawatir, dukungan Indonesia pada Palestina yang selama ini konsisten bisa dianggap melemah.

Para pakar pun memberi catatan. Aaron David Miller, mantan perunding damai Amerika, berharap rencana Trump realistis dan benar-benar berpijak di lapangan. Shibley Telhami dari Brookings lebih skeptis, menegaskan bahwa tidak ada rencana perdamaian yang berhasil tanpa komitmen Netanyahu. International Crisis Group juga mengingatkan, pidato indah dan rancangan damai hanyalah hiasan bila perang di Gaza tidak benar-benar dihentikan dan bantuan kemanusiaan tetap terhambat.

Dalam semua dinamika ini, Indonesia berdiri di tengah. Pidato Prabowo telah membuka pintu diplomasi dua arah yang jarang ditempuh: mendukung kemerdekaan Palestina, sekaligus mengakui hak Israel untuk hidup aman. Ini bisa menjadi momentum emas untuk mengangkat peran Indonesia sebagai jembatan antara dunia Islam dan Barat. Tetapi, semuanya akan sia-sia bila berhenti pada kata-kata. Dunia menunggu bukti nyata: kontribusi Indonesia dalam misi kemanusiaan, tawaran sebagai tuan rumah dialog, atau langkah-langkah lain yang menunjukkan bahwa politik bebas aktif kita bukan sekadar slogan.

Kesimpulan :

Pidato Prabowo di PBB adalah langkah berani yang menempatkan Indonesia dalam posisi strategis di kancah internasional. Ia menuai pujian dari Israel dan membuka peluang diplomasi baru dengan Amerika, tetapi juga memunculkan perdebatan di dalam negeri. Kritik dan dukungan sama-sama wajar. Namun satu hal jelas: jika Indonesia konsisten dengan politik bebas aktif dan menindaklanjuti pidato itu dengan aksi nyata, maka sejarah bisa mencatat pernyataan Prabowo bukan sekadar retorika, melainkan awal dari peran besar Indonesia dalam mencari perdamaian abadi bagi Israel dan Palestina.

Sumber Pustaka :

  1. Setkab RI, siaran resmi pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB.
  2. ANTARA, “Prabowo soroti Palestina dan Israel dalam pidato PBB.”
  3. Tempo, “Netanyahu menanggapi pidato Prabowo.”
  4. Reuters, Trump drafts 21-point blueprint for Gaza peace (Sept 2025).
  5. The Washington Post, “Details of Trump’s Gaza peace plan.”
  6. International Crisis Group, “UNGA and the Gaza war.”
  7. Brookings Institution & Carnegie Endowment, analisis pakar hubungan internasional.

(*) CV PENULIS :

Penulis adalah lulusan S1 Hukum dan S2 Program Pasca Sarjana Study Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Bekerja di Bank NTT selama 30 Tahun dan sekarang memilih menjadi pemerhati masalah sosial dan hukum.

Tinggal di Kota Kupang NTT menikmati hidup bersama keluarga (slow living).