Pelaku Gugat Korban TPPO di Lampung Timur 

Hukum533 Dilihat

HukumID.co.id, Lampung Timur – Tiga korban Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO) digugat secara perdata oleh Deni Maulana Yusuf (pelapor) di Pengadilan Negeri Lampung Timur.

Dalam salinan gugatan dalam Surat Panggilan Sidang Nomor: 67/PDT.G/2024/PN.SDN tertuang, gugatan diajukan atas dasar tuduhan bahwa laporan yang dibuat oleh para korban telah menimbulkan kerugian bagi pelapor atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

banner 600x600

Menanggapi gugatan ini, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Lampung Timur mendampingi para korban  menghadiri sidang perdana di Pengadilan Negeri Lampung Timur. 

Mujianto, Ketua DPC SBMI Lampung Timur menegaskan, bahwa pendampingan yang diberikan kepada para korban adalah langkah untuk melindungi hak-hak pekerja migran dari jerat perdagangan orang dan eksploitasi. Dewan Pimpinan Nasional SBMI dan DPC SBMI Lampung Timur bersama-sama mendampingi para korban menghadapi gugatan ini. 

banner 600x600

“Praktik-praktik TPPO yang melibatkan lembaga-lembaga seperti LPK Momiji bukan hanya kejahatan ini adalah sistem eksploitasi yang telah lama membelenggu banyak pekerja migran Indonesia, dan saat ini, kami sedang melawan itu. Kami SBMI sebagai pendamping korban tidak akan mundur selangkah pun untuk laporan TPPO ini.” ujar Mujianto, Senin (21/1/2025).

Kuasa Hukum para korban, Matthew Michele Lenggu menyatakan bahwa gugatan ini sepatutnya tidak terjadi pada korban TPPO. 

banner 600x600

“Bahwa tidak sepatutnya korban tindak pidana perdagangan orang digugat secara perdata. Kami berharap majelis hakim yang memeriksa perkara ini dapat memberikan putusan yang berperspektif korban,” kata Matthew dalam keterangan tertulisnya.

Sementara itu, Irvanuddin yang merupakan salah satu korban mengatakan, gugatan yang diajukan oleh pelapor terasa sebagai upaya menyudutkan dan membungkam keberanian para korban dalam melaporkan tindak pidana yang telah korban alami. 

Gugatan ini, lanjut Irvanuddin, tidak hanya menambah beban psikologis, tetapi juga menciptakan kesan bahwa korban perdagangan orang, yang semestinya dilindungi hak-haknya, justru dijadikan sasaran tuntutan hukum.

“Saya hanya ingin mencari pekerjaan yang layak di luar negeri, untuk membangun masa depan yang lebih baik. Tapi yang saya dapatkan justru penipuan, eksploitasi, dan akhirnya saya terjebak dalam perdagangan orang. Ketika saya berani melapor, saya malah digugat balik oleh orang yang menjerumuskan saya.” jelas Irvanuddin.

Hak Warga Negara Laporkan Dugaan TPPO

Menurut SBMI gugatan ini akan menjadi preseden buruk bagi pelindungan korban TPPO, karena alih-alih mendapatkan keadilan, para korban justru diframing seolah-olah melakukan pelanggaran hukum. 

Padahal, tindakan melaporkan dugaan TPPO merupakan hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas keadilan melalui proses hukum yang adil dan perlakuan yang sama di muka hukum dan Pasal  10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa, Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

Kronologi Kasus TPPO

Kasus ini bermula pada 18 Juli 2024, ketika salah satu Pekerja Migran Indonesia, Irvanudin, melaporkan LPK Momiji ke Polres Lampung Timur atas dugaan praktik TPPO. Laporan tersebut tercatat dengan Nomor Laporan Polisi: LP/B/140/VII/2024/SPKT/Polres Lampung Timur/Polda Lampung. 

Dalam laporannya, Irvanudin mengungkapkan bahwa dirinya, bersama beberapa para pekerja migran dan calon pekerja migran lain, telah menjadi korban perdagangan orang yang dilakukan oleh LPK Momiji. Irvanudin pada tahun 2019 telah diberangkatkan oleh LPK Momiji ke Jepang dengan visa studi banding, dengan iming-iming setelah visa studi bandingnya berakhir maka akan dapat diperpanjang untuk bekerja ke Jepang, namun setelah 3 bulan, Irvanudin harus kembali ke Indonesia. Setelah kembali ke Indonesia pun Irvanudin masih dihadapkan dengan eksploitasi ekonomi untuk keberangkatannya bekerja ke Jepang dengan nominal berkisar 56  juta rupiah.

Sebagai tindak lanjut, kepolisian menahan Deni Maulana Yusuf, selaku direktur LPK Momiji, berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor SP.Han/90/XI/RES.1.16./2024/Sat Reskrim, tertanggal 15 November 2024. Namun, tidak lama setelah itu, Deni Maulana Yusuf merespons dengan mengajukan gugatan perdata terhadap Irvanudin, Hariyadi, dan Angga.