HukumID.co.id, Jakarta – Resha Agriansyah Learning Center (RALC) menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional 2024 yang berjudul “Kontroversi Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023”. Dr. Resha Agriansyah SH., MH, selaku CEO RALC dan praktisi hukum serta Wakil Sekretaris Jenderal Assosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (Wasekjen AKPI) menjadi moderator seminar tersebut. Seminar yang dihadiri 300 peserta ini bertempat di Habitare Apart Hotel Rasuna Jakarta, Jum’at, 8 Maret 2024.
“SEMA No 3 tahun 2023 ini sebenarnya sudah keluar pada akhir November 2023. Terkait dengan hal itu setelah mengikuti perkembangan yang ada bahwa tidak ada Lembaga yang mengkaji SEMA no 3 tahun 2023 ini. “Sedangkan apabila dikaji lebih dalam di SEMA ini menyatakan bahwa developer apartemen atau rumah susun itu tidak memenuhi unsur pembuktian sederhana,” kata Resha Agriansyah.
Lebih lanjut, Resha mengatakan sedangkan di Undang Undang No 37 Tahun 2004 menyebutkan pembuktian sederhana itu harus diperiksa dulu sebagaimana Pasal 2 ayat 1 UU No 37 Tahun 2004 atau permohonan PKPU Pasal 222 UU No 37 Tahun 2004.
“Harus dibuktikan dahulu Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dan pemeriksaannya harus mengikuti ketentuan pasal 8 ayat 4 UU No 37 Tahun 2004 dibuktikan secara sederhana,” tegas Resha.
Ia melihat bahwa ada inkonsistensi atau pertentangan antara UU No 37 Tahun 2004 dengan SEMA No 3/2023. Setelah dipelajari lebih dalam bahwa ternyata SEMA itu sifatnya ke dalam tidak bisa mengatur keluar atau membuat aturan hukum baru apalagi bertentangan dengan UU.
“Berkaitan dengan hal inilah saya melihat bahwa kebijakan Mahkamah Agung harus di kritik, untuk itulah saya buat seminar ini. Dan berharap ada solusi terkait dengan SEMA yang menabrak Undang-undang ini.
Lebih lanjut Resha mengatakan bahwa MA harus melihat dari semua sisi. Bukan hanya sisi kurator dan kreditor saja, akan tetapi dari sisi debitor (misalnya perbankan).
“Debitur juga memerlukan restrukturisasi, mereka juga perlu mencari solusi untuk mengatur ulang utangnya. “Bagaimana solusinya untuk perbankan? sedangkan UU No. 37 Tahun 2004 itu membolehkan Debitor menempuh PKPU untuk restrukturisasi utang dengan ketentuan Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004,” jelasnya.
Masih menurut Resha, dari sisi kreditur, kita melihat bahwa kepentingan kreditur Ketika tagihan nya itu tidak dikembalikan oleh Debitor, atau misalnya unit apartemen tidak kunjung diserahkan oleh debitor dan sudah jatuh tempo, padahal kreditor sudah membayar secara lunas atau sertifikat tidak kunjung diserahkan oleh debitor dan kreditor sudah menempati unit dan status pembayarannya sudah lunas, masa kreditor tersebut tidak diberikan upaya hukum PKPU untuk mengupayakan hak-hak kreditor? Hal itu sangatlah tidak adil.
“Terkait dengan SEMA ini sifatnya mengatur ke dalam. Ini akan mengurangi sifat independensi hakim dalam memutus perkara. Pertanyaannya apakah ada hakim yang berani bertindak diluar dari SEMA itu?, tandas Resha.
Kedepan Resha menginginkan adanya kepastian hukum. Amandemen UU No 37 tahun 2023 menjadi suatu keniscayaan, agar tidak terjadi lagi tabrakan dengan kebijakan internal dari suatu institusi peradilan.
“Hasil dari seminar ini akan kami buatkan resume dan rekomendasi serta akan kami kirimkan ke MA sebagai kritik dan saran,” katanya.
Hadir sebagai pembicara Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Imran Nating SH., MH., Ketua Dewan Penasihat AKPI James Purba SH., MH., Ahli Perundang-undangan dari Universitas Indonesia Dr. Fitriani Ahlan Sjarif SH., MH., Guru besar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga Prof. Dr. Hadi Subhan SH., MH., Ketua Dewan Standarisasi AKPI Muhammad Ismak SH., MH. (Insan Kamil)