HukumID co.id, Jakarta – Persidangan perkara Nomor 246/Pid.B/2024/PN.Jakut sudah sampai tahap saksi ahli. Dr. Hendri Jayadi Pandiangan dipilih menjadi ahli dalam Perkara yang membelit dua orang terdakwa, yakni yakni Eva Jauwan dan ayahnya, Aky Jauwan.
Kuasa hukum Katarina Bonggo Warsito, Arianto Hulu, mengatakan, sesuai pendapat saksi ahli Dr. Hendri Jayadi Pandiangan, sudah tepat pihak-pihak yang diduga memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dikenakan Pasal 266 KUHP.
“Ya memang menurut pendapat ahli itu sudah benar karena biasanya itu diawali dulu siapa yang menyuruh, kemudian yang membuat itu notaris,” kata Arianto dihubungi pada Kamis (23/5).
Lebih lanjut Arianto menyampaikan, harus dikutahui siapa yang menyuruh atau mempunyai inisiatif untuk memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik tersebut.
“Jadi sudah tepat kalau para terdakwa itu menyuruh dan kemudian semestinya bukan hanya menyuruh, mereka juga menggunakan karena setelah mereka buat di notaris, mereka gunakan,” ujarnya.
Saksi ahli dalam persidangan terbuka untuk umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Dr. Hendri Jayadi Pandiangan menyampaikan, pembuat akta merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap isi akta. Pasalnya, sebelum ditandatangani, isi akta akan dibacakan dan meminta persetujuan dari pembuat akta dan saksi-saksi.
“Notaris hanya mengecek syarat-syarat formil yang diberikan oleh pembuat akta. Kebenaran data-data tersebut akan dikonfirmasikan kembali dengan pembuat akta sebelum ditandatangani,” ujar Hendri.
Atas dasar itu, dia menilai bahwa sudah tepat bila pembuat akta tersebut dikenakan Pasal 266 KUHP. Adapun isi pasal tersebut yakni “(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam surat pembukti resmi (akte) tentang hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akte itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan kebenaran, jika hal memakai akte itu dapat mendatangkan kerugian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun”.
Dia juga menjelaskan bahwa notaris akan mengecek syarat-syarat formil dan menanyakan apa benar sesuai dengan dokumen yang diberikan. Menurutnya, kalau Alexander Muwito (Alm) sudah pernah menikah dengan Katarina Bonggo Warsito, kenapa dibilang belum menikah.
Menurut Hendri, itu artinya pembuat akta membenarkan terjadinya kesalahan sekaligus memberi keterangan yang tidak sesuai dengan fakta.
Arianto menyampaikan, kuasa hukum kedua terdakwa, Djalan Sihombing, sempat berdalih bahwa belum diketahui siapa pihak yang menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan yang mengurus dokumen adalah Katarina.
Katarina membenarkan bahwa sempat mengurusnya hingga penandatananan. “Betul, saya yang diminta mengurus dokumen-dokumen untuk penandatanganan akta notaris di apartemen di Ancol,” ujar Katarina.
Namun Katarina menyampaikan tidak pernah diberitahu tentang akta tersebut. “Saat penandatanganan akta, saya disuruh keluar dan tidak menyaksikan penandatanganan tersebut,” ujarnya.
Katarina mengatakan, apakah notaris bisa memasukkan keterangan yang tidak sesuai fakta. “Apa tujuan notaris itu karena tidak ada hubungan keluarga sama sekali? Kan aneh,” ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa ada bukti chat di WhatApps yang menjadi kunci membuka kasus tersebut. Chat tersebut menjadi dasar ia mau mengantar berkas-berkas dan keperluan penandatanganan akta tersebut.
“Chat di WA itu dihapus oleh Aky saat handphone-nya disita oleh penyidik. Tapi saya sudah laporkan [chat] itu ke polisi,” ujarnya.
Kuasa hukum Katarania lainnya, Sugeng Teguh Santoso, menduga bahwa kliennya disuruh ke luar ruangan saat penandatanganan akta agar tidak mengetahui isi akta tersebut.
“Bisa saja disuruh keluar agar yang bersangkutan [Katarina] tidak sampai tahu isi akta tersebut,” katanya.
Arianto lebih lanjut menyampaikan bahwa pihak kuasa hukum terdakwa juga sempat mengakui bahwa Alexander Muwito sempat menikah dengan Katarina. “Ya mengakui mereka menikah kemudian bercerai,” katanya.
Ia menjelaskan, kliennya menikah dengan almarhum Alexander. Namun perkawinan tersebut hanya selama 1 tahun 8 bulan. Meraka kemudian bercerai di PN Jakut pada 2010.
“Tidak lama setelah cerai, Alexander itu meninggal. Tetapi ketika menikah tidak ada pembagian harta. Artinya itu harta bersama,” ujarnya.
Arianto menyampaikan, mestinya kalau harta bersama maka bagian almarhum turun kepada anaknya. Namun dari pernikahan itu pasangan ini belum dikaruniai keturunan.
“Kalaupun misalnya keluarganya, orang tuanya Alexander memiliki bagian, itu haya setengah. Setengah lagi buat Katarina. Justru karena mereka pernah menikah ini kemudian cerai makanya Bu Katarina punya legal standing untuk melaporkan,” katanya.
Sementara itu, Muhammad Nuji Petugas Seksi Pendaftaran Hak Kantor BPN Jakut menyampaikan, Akta Pernyataan, masing-masing Nomor: 26 tanggal 7 Agustus 2017 dan Nomor: 01/KHM /VIII/17 tanggal 7 Agustus 2017, menjadi lampiran dokumen peralihan waris dari Alexander Muwito kepada Aky Jauwan. “Tidak ada lampiran surat nikah atas nama Alexander Muwito,” ujarnya.
Hendri menyampaikan, patut diduga ada skenario menghilangkan hak Katarina Bonggo dengan menyatakan bahwa Alexander Muwito tidak pernah menikah dengan Katarina.
Anggota Majelis Hakim Hotnar Simarmata meminta semua pihak fokus pada Pasal 266 KUHP dan melihat secara jernih dari fakta-fakta yang ada. “Fokus pada Pasal 266 KUHP saja berdasarkan fakta dokumen dan keterangan saksi,” katanya.
Dalam laman PN Jakut dijelaskan bahwa berbekal dua Akta pernyataan tersebut, dua terdakwa memberikan kuasa kepada Atit Susetia untuk membalik nama Sertifikat Hak Milik (SHM) Atas Satuan Rumah Susun Nomor 2432/II, dari Alexander Muwito menjadi Aky Jauwan.
Ruko yang berada di Lindeteves Trade Centre, Jakarta Barat itu, dibeli oleh Alexander dan Katarina seharga Rp1,1 miliar, dengan cara diangsur sebanyak 50 kali. Namun itu dibantah oleh Djalan Sihombing Kuasa Hukum kedua terdakwa. Dia menyebutkan bahwa yang membeli ruko itu adalah Emmy Tanadi Tan (Alm), istri Aky Jauwan.
Menurutnya, ruko itu diberikan kepada Alexander. Alexander dan Katarina bekerja dan digaji di usaha keluarga yang bergerak di bidang peralatan las welding itu.
Dalam perkara ini, JPU mendakwa Aky Jauwan dan Eva Jauwan melanggar melanggar Pasal 266 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau melanggar Pasal 263 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.