Hukumid.co.id, Yogyakarta – Kasus yang menerpa Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong/TTL) dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berinisial CS yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2015.
Dalam kasus itu, TTL diduga membuat atau melaksanakan kebijakan yang melawan hukum saat menjadi Menteri Perdagangan pada era Presiden Jokowi yaitu mengeluarkan kebijakan impor gula pada 2015 yang diambil tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Selain itu, juga tidak ada rekomendasi dari kementerian-kementerian untuk mengetahui kebutuhan riil sebelum impor padahal hasil rapat koordinasi kementerian pada 15 Mei 2014 menyatakan Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu melakukan impor.
Dalam kasus tersebut, Penyidik TIPIKOR Kejaksaan Agung RI telah menetapkan TTL, mantan Menteri Perdagangan tahun 2015 dan CS mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) (Persero) sebagai tersangka dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
TTL ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sedangkan CS ditempatkan di Rutan Salemba cabang Kejagung.
Terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka Tom Lembong sangat keberatan lalu mengajukan permohonan pra peradilan di PN Jakarta Selatan terhadap Kejaksaaan Agung RI dengan alasan utama bahwa penetapan Pemohon oleh Termohon sebagai Tersangka dan juga penahanan terhadap dirinya dinilai tidak sah dan melawan hukum.
Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Tom Lembong melalui kuasa hukumnya tersebut ternyata ditolak seluruhnya oleh hakim tunggal praperadilan sesuai dengan putusan NOMOR 113/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hasil Kajian
Atas kasus Tom Limbong Centre For Leadership and Law Development Studies Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia tertarik untuk melakukan kajian akademik melalui aktivitas eksaminasi sebagai tanggapan atas penolakan permohonan praperadilan tersebut, mengingat sesudah melalui diskusi terbatas, ditemukan beberapa ketidaktepatan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh hakim praperadilan.
Hakim menolak seluruh permohonan pemohon tersebut. Tim berpendapat ditemukan beberapa masalah hukum (legal issue) penting yang perlu dieksaminasi, seperti pengabaian hak Tersangka atas akses untuk didampingi penasihat hukum, penetapan Pemohon sebagai tersangka tidak didasarkan bukti permulaan yang cukup.
Juga penggunaan risalah hasil expose sebagai bukti untuk menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum dan kerugian keuangan negara, pelanggaran terhadap asas legalitas, keterlambatan menyampaikan SPDP kepada Pemohon dan tidak terpenuhinya alasan subyektif yang didasarkan pada pertimbangan obyektif.
Atas kasus ini telah dilaksanakan sidang eksaminasi terhadap putusan Hakim Praperadilan Nomor 113/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel oleh Tim Eksaminasi CLDS FH UII yang terdiri dari para ahli hukum pidana yang sangat kompeten seperti Prof. Dr. Rusli Muhammad, SH., MH. Prof. Hanafi Amrani, SH., MH., LLM., PhD., Dr. Muhammad Arif Setiawan, SH., MH. dan Wahyu Priyanka Nata Permana, SH., MH.
Sidang eksaminasi tersebut juga dihadiri dosen pengajar hukum pidana, praktisi bantuan hukum baik dari LKBH FH UII, UAD, UMY dan UJB, para advokat dari DPC PERADI Yogya, IKADIN Yogya, serta mahasiswa pascasarjana program Magister Hukum (S2) yang mengambil konsentrasi bidang hukum pidana (Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana).
Dari hasil sidang Eksaminasi tersebut menghasilkan beberapa poin untuk dicermati. Pertama, menurut eksaminator, sangat tidak tepat pertimbangan hukum hakim Praperadilan yang menyatakan bahwa tidak diberikannya kesempatan menunjuk Penasihat Hukum pada saat Tom Lembong ditetapkan sebagai Tersangka dan diperiksa sebagai Tersangka tidaklah merupakan alasan untuk menyatakan suatu penetapan Tersangka menjadi tidak sah.
Bahwa pertimbangan hukum Hakim Praperadilan tersebut terkesan menganggap sepele mengenai hak Tersangka untuk mendapat bantuan hukum dari seorang penasihat hukum atau lebih yang dipercaya oleh tersangka sendiri untuk keperluan pembelaan bagi dirinya, padahal persoalan akses untuk mendapat penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa merupakan salah satu indikator penting dari adanya prinsip peradilan yang adil (due process of law).
Eksaminator juga berpendapat, dengan pengabaian hak tersangka oleh Termohon untuk memilih sendiri penasihat hukumnya meskipun hanya terjadi di awal penyidikan merupakan salah satu alasan penting untuk menyatakan bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak sah dan melawan hukum sebagaimana pernah diputuskan dalam beberapa kali putusan di tingkat Kasasi yaitu antara lain putusan Mahkamah Agung (MA) No.367 K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998, dan putusan MA No. 1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993.
Bahwa tidak diberikannya akses bagi Pemohon sebagai tersangka untuk memilih sendiri penasihat hukumnya juga bertentangan dengan adagium hukum yang berbunyi ubi jus ibi remidium yang berarti manakala ada hak yang diberikan oleh hukum maka harus ada akses hukum untuk menuntut dan/atau untuk memperoleh haknya apabila dilanggar.
Kedua, menurut eksaminator, Hakim Praperadilan telah salah dalam membuat pertimbangan hukum dengan menyatakan bahwa “Penetapan pemohon sebagai tersangka TIPIKOR dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh Termohon adalah sah”.
Pertimbangannya, a). Bahwa penetapan Pemohon sebagai tersangka tidak didasarkan pada bukti permulaan berupa kepastian hasil penghitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 400 miliar yang didasarkan hasil audit dari lembaga audit yang berwenang;
b) Hakim Praperadilan juga telah membuat pertimbangan hukum yang keliru di halaman 165 ketika menyatakan bahwa “dalam penghitungan kerugian negara tidak diharuskan adanya bentuk formal terlebih dahulu berupa penghitungan kerugian negara yang final/pasti oleh lembaga tertentu. Dan cukup menyatakan adanya kerugian keuangan negara yang nyata (telah terjadi/actual loss) dan dapat dihitung, Sebab perhitungan kerugian demikian tidak akan menjadi pasti/final, sampai dengan diuji di persidangan oleh majelis hakim pokok perkara…” dan
c). Demikian juga Hakim praperadilan juga telah membuat pertimbangan hukum yang keliru di halaman 167 yang menyatakan bahwa “penentuan besarnya kerugian Negara dapat juga diketahui diujung pemeriksaan”
“Berdasarkan ketiga argumentasi tersebut di atas menurut eksaminator, Hakim praperadilan telah mengakui bahwa Termohon memang tidak bisa membuktikan bahwa Penetapan Pemohon sebagai tersangka Tipikor dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidaklah didasarkan bukti permulaan mengenai kepastian adanya kerugian keuangan negara sebagai konsekuensi logis dari delik materiil dari tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon,”
Menurut eksaminator seharusnya hakim praperadilan mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Penetapan Tersangka oleh Termohon sebagai tidak sah dan melawan hukum dengan segala akibat hukumnya.
Disamping itu juga perlu menyatakan pula apabila penentuan besarnya kerugian Negara dapat juga diketahui diujung pemeriksaan, maka apabila kepastian adanya kerugian keuangan negara ada di ujung akhir penyidikan maka penetapan tersangkanya juga harus diujung pemeriksaan penyidikan, tentu sepanjang unsur lain telah pula lengkap ditemukan alat buktinya, mengingat karena delik yang disangkakan adalah delik materiil maka akibat yang dilarang harus terjadi, yang dengan demikian “kerugian keuangan negara” wajib ditentukan kepastiannya terlebih dahulu sebelum menetapkan seseorang (atau Pemohon) sebagai tersangka.
Pada sisi lain eksaminator, melihat Hakim Praperadilan telah keliru dalam membuat pertimbangan hukum bahwa “Hasil Risalah, Hasil Expose Penyidik Bisa Menjadi Petunjuk dan Bukti Surat Bahwa Dari Gelar Perkara Tersebut Ada Kerugian Keuangan “, dan eksaminator juga tidak sependapat dengan pendapat ahli yang dihadirkan Termohon “Berita Acara atau Risalah Hasil Ekspose antara Penyidik dengan Auditor BPKP yang menerangkan adanya perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara yang ditandatangani oleh Auditor dan Penyidik di bawah sumpah jabatan adalah sah sebagai Alat Bukti Surat berdasarkan Pasal 187 KUHAP, dan menurut Ahli sudah cukup sebagai Bukti Awal untuk menetapkan tersangka”
Dalam kesimpulannya Tim Perumus Eksaminasi CLDS FH UII seharusnya Hakim Praperadilan memutuskan:
1. Mengabulkan Permohonan Praperadilan dan menyatakan penyidikan perkara aquo oleh Termohon adalah tidak sah dan melawan hukum;
2. Menyatakan secara hukum bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Termohon dalam perkara aquo adalah tidak sah dan melawan hukum;
3. Menyatakan secara hukum bahwa penahanan yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah, karena tidak terpenuhinya alasan subyektif yang didasarkan pada pertimbangan obyektif yaitu adanya keharusan disertai dengan bukti dari adanya kekhawatiran penyidik.
*