Aksi Mahasiswa Banggai: Dari Tunjangan Rumah Rp50 Juta hingga Transparansi yang Hilang

Daerah515 Dilihat

HukumID | Banggai – Suasana depan kantor DPRD Kabupaten Banggai, Rabu, (28/8/2025) mendidih. Ratusan mahasiswa dan rakyat yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Rakyat tumpah ruah menyuarakan amarah. Mereka datang bukan sekadar berteriak, tapi membawa luka kolektif atas kebijakan yang mereka anggap menyinggung akal sehat yakni tunjangan rumah DPR RI Rp50 juta.

Aksi yang dikawal ketat aparat Kepolisian Resort Banggai dan Satpol PP itu akhirnya diterima langsung oleh Ketua DPRD Banggai, Arif Tjatjo. Kehadiran massa yang dipimpin Korlap Ketua BEM Untika ini seakan menjadi pengingat keras bahwa rakyat masih melek, masih mampu melawan lupa, dan menuntut kewarasan dalam kebijakan.

“Kami menolak tunjangan DPR RI. Jangan samakan kami dengan mereka. Tunjangan DPRD Banggai masih normal,” tegas Arif Tjatjo di hadapan massa. Ucapan itu seolah menjadi penyejuk di tengah panasnya isu nasional, meski belum mampu menutup luka kepercayaan publik.

Namun, Arif tidak berhenti di situ. Ia juga menyatakan DPRD Banggai mendukung penuh pengesahan RUU Perampasan Aset dan berkomitmen meninjau kembali PBJT 10 persen yang selama ini membebani UMKM Banggai melalui Perda.

Ironisnya, ketika membahas fasilitas pimpinan DPRD, Arif tak menutup kenyataan getir. Rumah jabatan ketua DPRD, yang sudah 35 tahun tak tersentuh rehabilitasi, kini jauh kalah layak dibanding rumah pribadinya sendiri. Lebih ironis lagi, unsur pimpinan DPRD seharusnya memiliki tiga rumah dinas, namun faktanya hanya ada dua. Perencanaan pembangunan rumah dinas yang baru pun tak lepas dari masalah. Bahwa ada lokasi yang ternyata masih bersengketa tanah.

Di titik ini, rakyat Banggai melihat wajah ganda kekuasaan. Di satu sisi menolak kemewahan DPR RI, di sisi lain terjebak dalam warisan tata kelola yang amburadul.

Yang lebih mencolok adalah minimnya transparansi Pemda Banggai. Draft Perda tak bisa diakses publik. Padahal hak partisipasi rakyat dijamin undang-undang. Proses penyusunan perda berjalan dalam ruang gelap, tanpa partisipasi, tanpa keterlibatan masyarakat. Seolah-olah rakyat hanya penonton yang boleh bertepuk tangan ketika aturan sudah jadi.

Aliansi mahasiswa menyebut kondisi ini sebagai wajah nyata krisis demokrasi lokal. Rakyat dipinggirkan dari ruang kebijakan, sementara transparansi dikorbankan atas nama formalitas.

Aksi di depan DPRD Banggai ini bukan sekadar kritik. Ia adalah pengingat bahwa rakyat, meski jauh dari pusat kekuasaan Jakarta, punya hak untuk marah, punya hak untuk menuntut, dan punya hak untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di balik pintu rapat DPRD.