HukumID.co.id, Jakarta – Seiring dengan perkembangan hukum di Indonesia, topik Restoratif Justice dalam konteks hukum medis dan kesehatan menjadi perbincangan yang mendalam. Ketua umum PKHMK (Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan) sekaligus ketua LMK MKI (Lembaga Mediasi Arbitrase Medis dan Kesehatan Indonesia). Dr. Dra. Risma Situmorang S.H., M.H, sebagai doktor hukum medis pertama di Indonesia, memberikan pandangan dan pemahaman mendalam terkait penerapan Restoratif Justice dalam konteks medis dan kesehatan di Indonesia.
“Restoratif Justice adalah suatu pendekatan penyelesaian perkara pidana yang melibatkan korban, pelaku, pemuka masyarakat, dan rohaniawan, dengan tujuan utama pemulihan dan pembinaan. Dalam konteks hukum medis, pemulihan ditujukan kepada korban, sementara pembinaan diberikan kepada pelaku,” kata Dr. Risma Situmorang saat podcast di bilangan Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).
Ketua Umum PKHMK Dr. Dra. Risma Situmorang SH., MH
Selain itu, Dr. Risma menegaskan bahwa penerapan RJ tidak selalu harus melalui jalur pengadilan, namun keadilan
terutama dari sudut pandang korban dan keluarganya harus tetap dipertimbangkan.
Terkait batasan penerapan Restoratif Justice, Dr. Risma menjelaskan bahwa terdapat kriteria tertentu untuk menerapkan RJ, seperti kerugian di bawah 2,5 juta dan ancaman pidana tidak melebihi 5 tahun, sebagaimana diatur dalam Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020.
“Namun, dalam konteks hukum medis, menekankan pentingnya melibatkan undang-undang kesehatan dan pertimbangan korban serta keluarganya,” ucapnya.
Meskipun implementasi RJ di Indonesia dinilai sudah cukup baik, Dr. Risma menyoroti beberapa faktor seperti ketidaktaatan masyarakat, kurangnya ketegasan hukum, dan perubahan karakter masyarakat yang dapat mempengaruhi
efektivitas RJ dalam menurunkan angka kriminalitas serta di dunia medis dan kesehatan.
“Dalam kasus kelalaian atau malpraktik medis, penerapan RJ harus mempertimbangkan syarat-syarat undang-undang kesehatan dan kesejahteraan korban,” tegasnya.
Ia juga menggarisbawahi bahwa pelanggaran disiplin dan etika dokter harus ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam konteks etika, Dr. Risma mengulas dilema penggantian RJ dengan kompensasi. Karena penilaian etis terkait kompensasi sangat kompleks, terutama karena sulit
mengukur nilai kehidupan.
“Sebagai solusi, pendekatan yang melibatkan kesepakatan dari kedua belah pihak tanpa melukai rasa keadilan dianggap sebagai jalan tengah, dengan memperhatikan situasi keuangan yang dimiliki oleh pihak terlibat,” tuturnya.
Dr. Risma juga memberikan pandangannya terkait harapan kedepan terkait regulasi Restoratif Justice. Meskipun menyatakan bahwa aturan yang ada sudah cukup memberikan perlindungan kepada pihak korban, Ia menekankan pentingnya partisipasi publik dalam merancang aturan yang melibatkan semua pihak terkait.
“Dengan demikian, peraturan yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat dan dianggap adil,” paparnya.
Sebagai penutup, Dr. Risma menyampaikan pesan bahwa keputusan terkait penerapan RJ haruslah dilakukan dengan hati nurani dan kembali pada nilai-nilai kemanusiaan.
“Pakailah hati nurani, kembalikan itu ke diri kita sendiri kalaulah itu keluarga kita, kalaulah itu anak kita, bagaimana perasaan kita. Itu patokannya,” imbuhnya.
Dengan demikian, Prinsip Keadilan Restoratif dalam Konteks Hukum Medis dan Kesehatan harus mengutamakan rasa keadilan bagi para korban. Ia menegaskan bahwa pendekatan ini tidak dapat dipaksakan, dan perlu mempertimbangkan aspek-aspek moral dan etika dalam konteks keadilan.
“Dalam menghadapi realitas yang terus berubah, partisipasi aktif dan responsif terhadap perubahan diharapkan dapat memberikan pandangan yang lebih komprehensif terkait pengembangan dan penerapan hukum medis dan kesehatan di Indonesia,” pungkasnya. (Insan Kamil)