HukumID | Banggai – Kunjungan anggota DPR RI, Beniyanto Tamoreka, pada Jumat (8/8/2025) ke lokasi dugaan kerusakan lingkungan tambang di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana, kembali memicu sorotan publik. Kehadirannya di tengah polemik perusakan mangrove di zona khusus perlindungan itu memang terkesan memberi perhatian serius. Namun format kunjungannya memunculkan pertanyaan mendasar. Mengapa hanya didampingi Dinas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (DLH-SDA) Kabupaten Banggai?
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), kunjungan anggota DPR untuk fungsi pengawasan idealnya melibatkan alat kelengkapan dewan (Komisi atau Panja) serta koordinasi dengan instansi teknis yang berwenang. Dalam kasus lingkungan, lembaga tersebut mencakup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dinas Lingkungan Hidup Provinsi, dan aparat penegak hukum.
Pendampingan hanya oleh Kepala DLH Banggai, perwakilan Dinas PUPR dan Perhubungan Banggai, serta bagian SDA Kabupaten Banggai membuat pengawasan menjadi parsial dan rawan tidak memenuhi standar verifikasi yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Temuan lapangan yang tidak diverifikasi oleh lembaga teknis lintas kewenangan berisiko dianggap lemah secara hukum jika kelak digunakan dalam proses penegakan,” jelas aktifis Pemerhati Lingkungan Hidup Banggai Hijau, Rahdart Nari, saat di temui, Minggu (10/8/2025).
Menurutnya lagi, Dalam kasus tambang Siuna, di mana terdapat indikasi kuat perusakan mangrove di zona khusus perlindungan yang diatur dalam Peraturan Tiga Menteri Tahun 2025 dan minimnya pendampingan teknis berpotensi membuat laporan hasil kunjungan tidak mencakup data ilmiah kunci. Analisis citra satelit, peta zonasi, dan kajian ekosistem.
Tanpa data tersebut, temuan DPR di lapangan bisa berubah menjadi sekadar catatan politis, bukan bukti hukum.
“Publik berhak tahu, kunjungan ini hasilnya akan dibawa ke mana. Apakah menjadi dasar rekomendasi formal DPR, atau hanya berhenti di media sosial dan pidato?,” tegasnya kritis.
Aktivis lingkungan mendesak agar kunjungan ini segera ditindaklanjuti dengan rapat dengar pendapat terbuka yang melibatkan KLHK, pemerintah provinsi, aparat penegak hukum, dan masyarakat terdampak. Transparansi ini dinilai penting untuk menghindari kesan negative dalam kunjungan.
“Pengawasan DPR RI adalah pilar demokrasi. Namun, tanpa melibatkan seluruh pihak berwenang, pengawasan hanya akan menjadi formalitas yang menyenangkan kamera, bukan menyelamatkan lingkungan,” ujarnya sarkas.
Sejumlah pegiat lingkungan di Banggai mendesak agar kunjungan tersebut segera diikuti dengan rapat dengar pendapat terbuka di DPR-RI bersama pihak-pihak terkait, termasuk KLHK, pemerintah daerah, dan perwakilan masyarakat.
“Jangan sampai ini hanya jadi ‘show politik’. Kita butuh tindakan nyata yang sesuai prosedur hukum, bukan sekadar kunjungan seremonial,” tegasnya lagi.
Publik menunggu apakah anggota DPR RI Beniyanto Tamoreka akan mendorong langkah hukum konkret, seperti pembentukan Panitia Khusus atau Panja Lingkungan. Atau justru membiarkan kasus ini menguap.
Rahdart menutup wawancara dengan mengatakan, Kunjungan lapangan anggota DPR memang penting untuk menyerap aspirasi rakyat. Namun, tanpa prosedur resmi dan pendampingan lembaga berwenang, langkah tersebut berisiko mereduksi makna pengawasan menjadi sekadar kegiatan simbolik.
“Untuk kasus Siuna, yang menyentuh ranah pelanggaran hukum lingkungan, transparansi dan prosedur seharusnya menjadi prioritas utama,” Tutupnya.








