HukumID | Banggai – Di Desa Siuna, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah pepohonan mangrove yang dulu menjadi benteng pesisir kini tinggal bayang-bayang. Ironisnya, yang hilang bukan hanya akar dan lumpur, tapi juga nyali penegak hukum. Sudah lama warga menjerit, tapi hukum tetap bersikap seperti burung hantu di siang bolong. Diam, berpura-pura tak melihat.
Kondisi ini memantik kemarahan dari kalangan mahasiswa. Salah satunya adalah Kurniawan Masunggang, mahasiswa semester 4 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Luwuk. Ia menyebut, ketidakberdayaan aparat dalam menangani kerusakan lingkungan di Siuna adalah bentuk “kealpaan sistemik yang disengaja”.
“Siuna tidak butuh seminar hukum lingkungan. Yang dibutuhkan adalah keberanian menegakkan hukum itu sendiri! Jangan tunggu rakyat tanam mangrove pakai toga sarjana hukum, baru hukum dianggap hidup,” ujar Kurniawan dengan nada kecewa.
Menurut Kurniawan, dasar hukum penindakan terhadap kejahatan lingkungan sudah lebih dari cukup. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP No. 27 Tahun 2025 tentang Mangrove sudah jelas. Bahkan Pasal 28H UUD 1945 terang-terangan menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik.
“Tapi sayangnya, undang-undang itu tampaknya hanya laris saat lomba debat mahasiswa, bukan saat tambang beroperasi. Ketika pelanggaran terjadi secara terang benderang, aparat justru gelap mata atau malah silau dengan kilau investasi,” sindirnya.
Ia menambahkan, hukum lingkungan punya konsep strict liability. Yang artinya perusahaan bisa dikenakan sanksi tanpa perlu pembuktian niat jahat. Tapi, entah kenapa, Siuna seperti berada di luar peta hukum Indonesia.
“Kalau hukum tidak bisa menyentuh tambang yang merusak mangrove, jangan-jangan yang rusak bukan hanya hutannya, tapi juga mentalitas aparaturnya?” tanya Kurniawan pedas.
Lebih jauh, Kurniawan menegaskan bahwa kerusakan mangrove bukan hanya soal alam. Tetapi juga soal hak hidup masyarakat pesisir. Ketika tempat nelayan mencari ikan rusak. Ketika air menjadi keruh, dan tanah menjadi retak. Itu bukan bencana alam, itu bencana kebijakan.
“Siuna sedang dirampok perlahan, tapi legal. Kalau hukum hanya jadi tameng kekuasaan, lalu siapa yang jaga keadilan?” tanyanya retoris.
Mahasiswa Fakultas Hukum Unismuh Luwuk ini juga mengingatkan bahwa diamnya negara dalam tragedi ekologis adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat.
“Jangan bangga jadi negara hukum kalau hukum hanya hadir di ruang kuliah, bukan di lokasi kerusakan. Siuna butuh tindakan, bukan pidato pejabat bertopi safari!” pungkasnya.