Oleh: Agus Salim Hasan, S.H., M.H.
Setiap tanggal 21 April, bangsa ini memperingati Hari Kartini sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia. Kita mengingat sosok Raden Ajeng Kartini sebagai perempuan cerdas dan progresif yang melampaui zamannya. Melalui surat-suratnya, Kartini menolak tunduk pada aturan yang membelenggu perempuan. Ia menulis tentang pentingnya pendidikan, kebebasan berpikir, dan keberanian untuk bermimpi. Bagi Kartini, perempuan bukan pelengkap dalam masyarakat, tetapi mereka adalah subjek penuh dalam pembangunan bangsa.
Lebih dari seratus tahun setelah Kartini wafat, kondisi perempuan Indonesia memang jauh lebih baik. Mereka kini memimpin perusahaan, duduk di parlemen, bahkan menjabat di posisi strategis pemerintahan. Tapi apakah perjuangan Kartini benar-benar telah usai? Apakah sistem sudah benar-benar adil bagi perempuan yang berpikir dan bertindak berbeda? Ataukah kita masih menyimpan luka lama yang kini menjelma dalam bentuk yang lebih modern, misalnya berupa kriminalisasi terhadap seorang profesional yang jujur?
Salah satu kisah nyata yang menyentuh hati nurani adalah nasib seorang perempuan yang pernah memimpin BUMN strategis di sektor energi. Ia adalah salah satu Kartini Indonesia di bidang migas: Ir. Hj. Galaila Karen Kardinah, atau sering dikenal sebagai Karen Agustiawan, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014.
Di masa kepemimpinannya, ia membuat berbagai terobosan dalam menghadapi krisis energi global. Ia menjalankan “kebijakan” atas dasar perintah jabatan (Perpres no. 5/2006, Inpres No.1/2010 dan No. 14/2011) dan usulan dari fungsi gas Pertamina terkait kebutuhan gas untuk Kilang, PLN dll. pada masa 10-20 tahun mendatang dengan mangadakan LNG dari Amerika. Hal ini karena pasokan domestik sudah tidak cukup, atau setidaknya akan mengalami defisit.
Keputusan itu, menurut laporan keuangan internal, memberi keuntungan bagi negara, yakni sekitar USD100 juta pada akhir 2024, dan kontrak berlangsung hingga 2040. Tetapi, setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya, justru beliau dikriminalisasi dan dijatuhi hukuman 13 tahun penjara.
Karen Agustiawan mengungkapkan bukti dan fakta-fakta dalam persidangan, dan meyakinkan kepada majelis hakim bahwa ia tidak bersalah, yakni:
I. Tidak ada satu pun ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar;
II. Apa yang dituduhkan JPU bahwa tidak ada izin prinsip, tidak ada persetujuan RUPS, tidak ada kajian terlebih dahulu dan sebagainya, adalah konstruksi hukum yang diciptakan sendiri oleh JPU dan dipaksakan untuk memenuhi unsur perbuatan melawan hukum;
III. Ibu Karen bukan pihak yang diuntungkan, baik finansial maupun nonfinansial, dari kontrak pengadaan LNG (Sales Purchase Agreement/SPA 2013 dan 2014) pada eranya.
IV. Tidak ada kerugian negara sebagaimana dituduhkan; seandainya pun ada ─ quod non ─ bukan menjadi tanggung jawab Ibu Karen, karena kerugian tersebut terjadi dalam V. pelaksanaan SPA 2015 yang ditandatangani oleh Dwi Soetjipto yang membatalkan dan menggantikan SPA 2013 dan 2014.
Pengelolan SPA 2015 kemudian dijalankan oleh direksi berikutnya, Nicke Widyawati, dengan menjual harga LNG di bawah harga pasar dan melewatkan peluang keuntungan dari Trafigura sehingga merugi. Sementara, Ibu Karen tidak memiliki kuasa dan kendali apapun karena telah berada di luar.
Kasus ini tidak hanya soal hukum, tapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan perempuan yang berani mengambil tanggung jawab besar. Sama seperti Kartini yang dulu dibungkam oleh struktur sosial, hari ini masih ada perempuan yang dibungkam oleh sistem penegakan hukum yang seharusnya menjunjung keadilan. Seolah prestasi dan integritas tak lagi penting, ketika kekuasaan punya narasi sendiri. Lebih menyakitkan lagi, ini terjadi saat perempuan itu telah memasuki usia lanjut dan memilih mundur dari jabatan Dirut Pertamina, karena telah merasa lelah dan demi keluarga.
Apa yang dialami Ibu Karen ini tidak jauh berbeda dari kisah tokoh perempuan dunia lain yang dikorbankan oleh sistem. Ibu Shirin Ebadi, aktivis HAM dari Iran, juga harus menghadapi tekanan karena membela kebenaran. Ibu Aung San Suu Kyi pernah dipenjara karena menolak tunduk pada militerisme di negaranya. Mereka semua adalah contoh bahwa perempuan yang kritis dan berpengaruh kerap dianggap ancaman, bukan sebagai aset bangsa dan negara.
Namun sejarah selalu berpihak pada mereka yang berjuang dengan hati bersih. Kita boleh mengurung tubuh seseorang, tapi tidak bisa memenjarakan semangat dan keteladanan yang ia tinggalkan. Ibu Karen mungkin tidak sempurna, sebagaimana layaknya seorang manusia, tapi yang ia lakukan sebagai profesional telah memberi manfaat nyata bagi negara. Ia tidak memperkaya diri, tidak lari dari tanggung jawab, dan tidak mencari perlindungan politik. Ia hanya salah satu dari banyak perempuan yang menjadi korban ketidakadilan sistemik.
Maka di Hari Kartini ini, marilah kita jangan hanya mengenakan kebaya atau mengulang puisi emansipasi. Kita perlu merenung lebih dalam:
‘Apakah bangsa ini akan masih terus melukai perempuan yang tulus bekerja untuk negeri?’
‘Apakah kita hanya merayakan Hari Kartini sebagai simbol, tapi melupakan perempuan-perempuan hari ini yang masih berjuang di dalam sunyi?’
Kartini pernah menulis: Habis gelap, terbitlah terang! Namun, jika terang itu hanya milik mereka yang berkuasa, maka kita semua punya tanggung jawab untuk menyalakan kembali obor kebenaran, agar tidak ada lagi perempuan Indonesia yang dikorbankan oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.








