HukumID | Jakarta – Dalam sidang lanjutan perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK), Pemerintah menegaskan bahwa tidak semua jabatan aparatur sipil negara (ASN) dapat diisi oleh anggota kepolisian. Hanya jabatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang memungkinkan anggota Polri menduduki posisi tersebut. Penjelasan ini disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, saat memberikan keterangan mewakili Pemerintah dalam sidang pleno yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Senin (8/9/2025).
Eddy Hiariej menuturkan, mekanisme pengisian jabatan tertentu itu telah diatur lebih lanjut melalui Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2018, yang merupakan perubahan dari Perkap Nomor 4 Tahun 2017 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi. Menurutnya, penempatan tersebut mencakup jabatan struktural maupun fungsional, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dan selalu mengikuti koridor hukum yang berlaku.
Terkait frasa “atau” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang dipersoalkan para pemohon, Eddy menegaskan bahwa kata tersebut bersifat alternatif, bukan kumulatif. Dengan demikian, anggota Polri yang pensiun atau mengundurkan diri tetap dapat menduduki jabatan publik non-kepolisian, seperti menjadi menteri atau anggota legislatif, tanpa menyalahi aturan.
“Dalil para Pemohon mengenai adanya tumpang tindih penegak hukum tidak berdasar, karena yang dimaksud dalam aturan itu adalah anggota Polri yang sudah tidak aktif. Norma ini juga telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kepegawaian,” jelas Eddy.
Dalam persidangan, Pemerintah juga menolak anggapan bahwa Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasannya bersifat multitafsir. Menurut Eddy, regulasi tersebut telah disusun selaras dengan prinsip konsistensi, sinkronisasi, dan harmonisasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari UU Nomor 10 Tahun 2004 hingga perubahan terakhir UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sementara itu, para pemohon yakni Syamsul Jahidin (mahasiswa doktoral dan advokat) serta Christian Adrianus Sihite (sarjana hukum), berkeberatan terhadap aturan yang membolehkan polisi aktif menduduki jabatan sipil. Mereka menilai praktik tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, merugikan hak warga sipil dalam persaingan jabatan publik, dan berpotensi melahirkan dwifungsi Polri.
Dalam permohonannya, Syamsul menyebut sejumlah contoh jabatan sipil yang kini ditempati perwira polisi aktif, mulai dari Ketua KPK, Kepala BNN, hingga pejabat di kementerian. Kondisi ini dinilai mengurangi kesempatan setara bagi warga sipil dan melemahkan prinsip meritokrasi dalam tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.








