HukumID | Jakarta – Advokat sekaligus Managing Partner kantor hukum Simbolon & Partner, Yudianta Medio Simbolon, mengungkap alasan dirinya melanjutkan studi ke jenjang Doktor Ilmu Hukum (S3) di Universitas Pancasila (UP). Menurutnya, keputusan itu bukan semata mengejar gelar, tetapi bentuk tanggung jawab moral untuk terus belajar dan menegakkan nilai-nilai hukum berdasarkan luhur Pancasila.
Dalam perbincangan bersama HukumID, Yudianta mengatakan Universitas Pancasila memiliki nilai dan karakter unik yang membuatnya tertarik melanjutkan pendidikan di sana.
“Universitas Pancasila itu bukan sekadar nama. Di sini nilai-nilai luhur Pancasila benar-benar diterapkan. Jadi saya yakin lulusan dari kampus ini akan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan dalam pengabdian kepada masyarakat,” ujar Yudianta.
Selain nilai ideologis, ia juga menilai fasilitas kampus menjadi daya tarik tersendiri. UP menyediakan e-library, moot court (pengadilan semu), laboratorium hukum, serta bimbingan akademik yang terstruktur.
“Dan yang terpenting, kualitas dosennya luar biasa. Banyak profesor dan doktor yang memang praktisi dan akademisi di bidang hukum. Jadi ilmunya tidak hanya teoritis, tapi juga aplikatif,” tambahnya.
Sebagai advokat yang memiliki kantor hukum sendiri dan menangani banyak perkara, Yudianta mengaku tantangan terbesar dalam melanjutkan kuliah S3 adalah manajemen waktu. Namun ia menekankan bahwa semua bisa dijalani jika memiliki disiplin tinggi.
“Kuncinya disiplin. Saya dan tim di kantor bekerja dari jam sembilan pagi sampai jam lima sore. Setelah itu waktu bisa saya alokasikan untuk belajar, membaca, dan menulis disertasi,” ungkapnya.
Menurutnya, disiplin bukan hanya soal waktu, tetapi juga mengelola prioritas dan menjaga energi positif agar bisa menjalani dua peran sekaligus: profesional dan akademisi.
Dalam wawancara tersebut, Yudianta juga menyinggung maraknya oknum advokat yang mencederai profesinya. Ia menegaskan bahwa profesi advokat adalah “officium nobile”, profesi mulia yang berorientasi pada keadilan dan kejujuran.
“Begitu kita mendarmabaktikan diri sebagai advokat, itu artinya kita berkomitmen memberikan nasihat hukum yang jujur kepada klien. Jangan menakut-nakuti atau memanfaatkan ketidaktahuan klien. Sampaikan apa adanya, termasuk pro dan kontra dari kasus yang dihadapi,” jelasnya.
Dalam praktik profesional, ia menerapkan metode IRAC (Issue, Regulation, Analysis, Conclusion) untuk menelaah setiap perkara secara sistematis.
“Dengan IRAC, kita bisa menjelaskan ke klien apa isu hukumnya, aturan yang berlaku, analisis, dan kesimpulannya. Dari situ, kepercayaan akan tumbuh,” katanya.
Menariknya, Yudianta lebih sering menyelesaikan perkara klien melalui mediasi daripada proses litigasi di pengadilan. Sebagai mediator bersertifikat non-hakim, ia meyakini penyelesaian di luar pengadilan bisa menjadi solusi yang lebih cepat dan manusiawi.
“Banyak kasus yang bisa selesai tanpa sidang. Misalnya sengketa utang piutang, bisa diselesaikan lewat kesepakatan cicilan atau win-win solution. Itu jauh lebih efisien daripada banding atau kasasi yang makan waktu dan biaya besar,” ujarnya.
Kantor hukumnya, Simbolon & Partner, yang berdiri sejak 2005, juga dikenal kerap menangani klien asing dengan pendekatan out of court settlement.
“Rata-rata klien asing justru lebih terbuka dengan metode mediasi, karena lebih cepat dan tidak terlalu birokratis,” tambahnya.
Menanggapi kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan ChatGPT dalam bidang hukum, Yudianta berpendapat bahwa teknologi tidak akan menggantikan peran advokat.
“AI bisa jadi referensi, tapi tidak bisa menggantikan analisis manusia. Profesi advokat itu bukan hanya soal membaca aturan, tapi memahami konteks, niat, dan tujuan klien. Itu yang tidak bisa dikerjakan mesin,” tegasnya.
Ia bahkan menjadikan AI sebagai alat bantu bagi timnya, bukan pengganti.
“Saya selalu ajarkan ke rekan-rekan di kantor, kalau AI kasih jawaban hukum, tetap cek sumbernya. Pastikan sesuai undang-undang, PP, atau peraturan presiden yang berlaku,” tambahnya.
Menutup perbincangan, Yudianta menyampaikan pesan inspiratif kepada rekan sejawat dan generasi muda agar tidak berhenti belajar.
“Ketidaktahuan hukum akan mencederai Anda. Karena itu, pelajarilah hukum, pahami aturannya. Sekalipun Anda bukan orang hukum, jangan pernah berhenti belajar,” pesannya.
Ia juga mengingatkan bahwa dunia hukum selalu berkembang, sehingga setiap praktisi harus terus memperbarui pengetahuan.
“Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Pendidikan adalah investasi moral dan intelektual bagi masa depan bangsa,” tutup Yudianta.








