HukumID | Banggai – Dugaan pengrusakan lingkungan hidup oleh perusahaan tambang demi akses industri di Desa Siuna Kecamatan Pagimana Kabupaten Banggai adalah tindakan merusak ekosistem dan hak warga dengan cara brutal.
Jejak penimbunan mangrove ini, memasuki babak yang semakin mencemaskan. Luas area yang dihajar alat berat perusahaan tambang mencapai 15 hektar yang didalamnya terdapat kawasan mangrove aktif. Namun data penguasaan legal hanya menyebutkan 7,65 hektar yang telah melalui proses pembebasan lahan dari warga pemilik SKPT. Lantas, bagaimana dengan sisa lebih dari 7 hektar lainnya?
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Banggai, Judi Amisudin, mengungkap fakta ini secara terbuka saat ditemui di kantornya, Senin (28/7/2025).
“7,65 hektar itu dikuasai warga dengan bukti SKPT yang sudah dibebaskan. Tapi justru perusahaan tambang di Siuna menimbun mangrove sampai 15 hektar. Lebihnya itu tidak memiliki data,” ujarnya dengan nada serius.
Pernyataan ini menguak satu celah penting yakni terdapat hampir separuh dari total area penimbunan yang tidak memiliki dasar penguasaan lahan yang jelas. Tidak tercatat sebagai tanah negara, tidak tercantum dalam dokumen pembebasan, dan tidak ada keterangan siapa pemiliknya.
Dalam konteks hukum agraria dan lingkungan, kekosongan data semacam ini bukan hal remeh. Ia berpotensi membuka pintu bagi praktik penyerobotan, dan memperlihatkan betapa lemahnya sistem pengawasan terhadap ekspansi wilayah tambang.
Bahkan, jika lahan itu dianggap “tidak bertuan,” menimbun kawasan mangrove aktif tetap harus melalui izin lingkungan yang ketat, apalagi jika lokasinya berada dalam zona pesisir sensitif.
Dinas Lingkungan Hidup sendiri mengindikasikan siap untuk bertindak. Namun, pernyataan dan tindakan masih belum selaras. Sampai berita ini diturunkan, belum ada perintah penghentian kegiatan, belum ada rekomendasi konkret ke penegak hukum, meski data lapangan dan keterangan resmi sudah cukup memberikan sinyal bahaya.
Sementara itu, masyarakat pesisir yang selama ini menjadi penyangga alami wilayah laut dan penjaga ekosistem mangrove, Kini hanya bisa menyaksikan perubahan drastis bentang alam di depan mata mereka.
Ironisnya, meski fakta-fakta ini telah diketahui melalui forum resmi dan inspeksi lapangan, rekomendasi DPRD Banggai beberapa waktu lalu tidak secara tegas menyebut adanya dugaan pelanggaran hukum lingkungan. Tidak ada pula desakan penghentian aktivitas perusahaan. Hanya imbauan normatif dan opsional untuk Pemda “dapat” menghentikan sementara kegiatan tambang.
Bagaimana mungkin ketika luasan lahan yang ditimbun melampaui yang dibebaskan, dan ketika sebagian tak memiliki legalitas, tak ada tindak lanjut hukum?
Mangrove bukan sekadar pohon pesisir. Ia adalah penjaga garis pantai, penyaring alami, sekaligus penopang mata pencaharian masyarakat nelayan. Menimbun mangrove tanpa izin yang sah adalah bentuk pengabaian terhadap ekosistem dan hukum. Dan jika dilakukan pada lahan yang tidak dibebaskan, maka persoalan ini tak lagi sekadar teknis, tetapi sudah menyentuh akar tata kelola sumber daya.
Siapa yang Harus Bergerak? DLH sudah bicara. Fakta sudah terbuka. Namun hukum belum bergerak. Siapa yang akan memastikan lahan tak bertuan itu sedang dipaksa menjadi milik perusahaan tambang?
Namun hingga kini, belum terlihat adanya penghentian aktivitas atau penyegelan lokasi. DPRD pun belum mengeluarkan rekomendasi tegas menyebut adanya pelanggaran hukum.
Fakta lapangan terungkap :
- Kawasan mangrove seluas 15 hektar ditimbun demi akses tambang.
- 7,65 hektar di antaranya adalah lahan milik warga yang sudah dibebaskan dan sisanya masih gelap.
- DLH siap merekomendasikan proses hukum jika terbukti melanggar.
Jika penimbunan yang brutal ini masih dianggap “normal,” maka mungkin yang rusak bukan hanya mangrove, tetapi juga keberanian moral institusi hukum untuk berdiri membela kepentingan rakyat dan lingkungan.








