Iguana Tompotika Desak Penegak Hukum Usut Pengrusakan Mangrove di Banggai

Daerah, Hukum508 Dilihat

HukumID | Banggai – Desakan terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar bertanggung jawab atas pengrusakan mangrove di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana, kini menguat. Namun kali ini, sorotan tajam diarahkan pula kepada aparat penegak hukum.

Pegiat lingkungan dari Iguana Tompotika Luwuk menilai, pengakuan terbuka beberapa perusahaan tambang dalam forum resmi DPRD menjadi dasar kuat untuk penyelidikan hukum. Bukan sekadar pembinaan administratif.

Dalam keterangannya, Ketua Iguana Tompotika, Muhammad Hidayat alias Okuk, menyatakan bahwa penyelesaian kasus ini tidak cukup hanya melalui teguran atau surat peringatan.

“Kami mendesak aparat penegak hukum, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, untuk menyelidiki dugaan pelanggaran pidana lingkungan hidup yang terjadi di wilayah pesisir Pagimana. Ada bukti fisik, ada pengakuan lisan, dan ada dampak ekologis. Apalagi yang ditunggu?” tegasnya, Jumat (25/7/2025).

Sebagaimana diketahui, dalam inspeksi lapangan yang dilakukan Komisi II DPRD Banggai bersama instansi teknis pada Selasa (22/7/2025), ditemukan pembukaan jalur seluas 15,8 hektar dalam kawasan mangrove yang diduga untuk keperluan jetty milik PT Bumi Persada Surya Pratama (BPSP). Luasan ini bukan hanya berdampak pada hilangnya vegetasi, tetapi juga merusak ekosistem pesisir yang menjadi habitat biota laut dan pelindung alami dari abrasi.

Lebih lanjut, dalam RDP Kamis (24/7/2025), sejumlah perusahaan tambang lain, PT Penta Dharma, dan PT Prima Dharma Karsa, mengakui secara terbuka bahwa sebagian izin lingkungan mereka belum lengkap, meskipun aktivitas tambang sudah berlangsung.

“Ini bukan pelanggaran teknis semata. Ini bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana lingkungan sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tambah Okuk.

Iguana Tompotika menegaskan bahwa keberadaan hukum lingkungan tidak hanya ditujukan bagi masyarakat kecil atau nelayan, tetapi juga untuk korporasi besar yang mengabaikan prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab ekologis.

“Kalau pengakuan seperti ini tidak ditindaklanjuti, maka hukum kehilangan wibawa. Ini menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum lingkungan di seluruh Indonesia,” tutup Okuk.

Dalam pasal 109 UU PPLH disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak tiga miliar rupiah. Apakah ini hanya berlaku di atas kertas?

“Kini, publik menunggu. apakah aparat penegak hukum akan bertindak, atau membiarkan kejahatan lingkungan hidup ini menguap dalam aroma perizinan yang “masih diproses”?,” Pungkas Okuk.