Oleh Frits R Dimu Heo,SH.MSi
Latar Belakang
Publik kembali dihebohkan dengan wacana pemerintah mengambil alih 51% saham Bank Central Asia (BCA). Sebenarnya ide ini muncul dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menilai saham tersebut seharusnya masih tercatat milik negara, karena BCA dulu pernah diselamatkan pemerintah saat krisis moneter 1998 melalui program BLBI dan rekapitalisasi perbankan.
PKB menilai, jika saham BCA diambil alih, maka negara tidak perlu mengeluarkan uang tunai karena itu dianggap sebagai hak rakyat yang pernah “dikorbankan” untuk menyelamatkan bank di masa krisis (JPNN).
Suara Pro: Demi Keadilan dan Mengembalikan Aset Rakyat
Beberapa pakar hukum dan ekonom mendukung gagasan ini.
Pakar Ekonomi dari UGM, Sasmito Hadinegoro, menilai pemerintah berhak mengambil kembali saham tersebut tanpa harus membayar, karena ada indikasi rekayasa dalam proses akuisisi ke pihak swasta di masa lalu (Kompasiana).
Pakar hukum Hardjuno Wiwoho bahkan mendorong DPR untuk mengusut tuntas skandal BLBI dan proses pelepasan saham BCA yang dianggap tidak transparan. Ia menyinggung adanya selisih besar antara aset BCA saat itu dengan harga penjualan saham ke investor swasta, yang bisa menimbulkan kerugian negara (Radar Banyuwangi/Jawapos).
Bagi kelompok pro, pengambilalihan ini dianggap sebagai bentuk keadilan sejarah dan langkah untuk menyelamatkan uang rakyat yang dulu tersedot ke bailout perbankan.
Suara Kontra: Risiko Kepercayaan Investor
Namun, tidak sedikit pula pakar yang menentang wacana ini.
Peneliti CSIS, Riandy Laksono, menilai nasionalisasi saham BCA berpotensi merugikan perekonomian. Menurutnya, BCA sebagai bank swasta besar justru penting untuk menjaga persaingan sehat dalam dunia perbankan. Jika negara mengambil alih, ada risiko mengurangi kompetisi dan menurunkan efisiensi, yang akhirnya merugikan konsumen maupun stabilitas ekonomi (Katadata).
Beberapa pengamat juga memperingatkan soal risiko kepercayaan investor. Jika pemerintah mengambil paksa saham perusahaan publik, pasar bisa menilai Indonesia tidak ramah investasi. Dampaknya bukan hanya pada BCA, tetapi juga bisa memicu capital flight (kaburnya modal asing) dan gejolak rupiah.
Apa Risiko Besar bagi Negara?
1. Risiko Hukum – Pengambilalihan tanpa mekanisme bisnis (misalnya tender atau akuisisi resmi) bisa memicu gugatan hukum dari pemegang saham. Ini dapat merusak reputasi Indonesia di mata dunia.
2. Risiko Ekonomi – Potensi turunnya indeks saham, pelemahan rupiah, dan kaburnya modal asing jika pasar menilai ada intervensi politik berlebihan.
3. Risiko Politik – Wacana ini bisa menimbulkan polarisasi: antara mereka yang ingin “menuntut keadilan BLBI” dan mereka yang khawatir ekonomi kembali goyah.
Apakah ini Realistis?
Saat ini, belum ada keputusan resmi pemerintah. Wacana ini baru sebatas usulan politisi dan diskusi publik. Pemerintah masih menjaga stabilitas perbankan dan tidak ada sinyal resmi soal nasionalisasi kembali saham BCA.
Langkah yang lebih realistis kemungkinan adalah audit transparan terkait BLBI dan proses penjualan saham BCA di masa lalu. Jika memang ditemukan kerugian negara, jalur hukum bisa ditempuh tanpa harus mengganggu stabilitas perbankan saat ini.
Kesimpulan :
Mengambil alih kembali 51% saham BCA memang terdengar menggiurkan bagi sebagian kalangan yang ingin mengembalikan uang negara. Namun, risiko besar bagi stabilitas ekonomi, hukum, dan kepercayaan investor juga tidak bisa diabaikan.
Daripada terburu-buru, langkah yang lebih bijak adalah membuka kembali arsip BLBI dan akuisisi BCA secara transparan, melibatkan lembaga audit independen, lalu mengambil tindakan hukum bila ada pelanggaran. Dengan begitu, negara tetap bisa menegakkan keadilan tanpa mengorbankan kepercayaan pasar.
Sumber Data :
- JPNN: PKB Dorong Prabowo Ambil Alih Saham BCA
- Kompasiana: Ekonom UGM Desak Prabowo Ambil Alih 51% Saham BCA
- Katadata: Wacana Pengambilan Paksa 51% Saham BCA Mengemuka
- Radar Banyuwangi/Jawapos: Skandal BLBI-BCA Mencuat Lagi, Pakar Hukum Dukung DPR Usut.
*) CV PENULIS :
Penulis adalah lulusan S1 Hukum dan S2 Program Pasca Sarjana Study Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Bekerja di Bank NTT selama 30 Tahun dan sekarang memilih menjadi pemerhati masalah sosial dan hukum.
Tinggal di Kota Kupang NTT menikmati hidup bersama keluarga (slow living).(*)








