Dugaan Pembiaran Izin, Surat Dukungan Tender, dan Beban Pajak Rakyat

Daerah598 Dilihat

HukumID | Banggai – Sejak 2015, sejumlah perusahaan tambang galian C di Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah tercatat memiliki IUP (Izin Usaha Pertambangan). Namun diduga kuat banyak yang belum mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Investigasi yang dilakukan media ini tercatat ada empat perusahaan besar antara lain PT Anugrah Sumber Bumi – konsesi 4.100 ha di Toili, Toili Barat, 4.335 ha di Pagimana, Bualemo. Belum punya IPPKH. PT Gemilang Mandiri Perkasa – 4.667 ha di Bunta, Nuhon, 4.415 ha di Toili, Toili Barat. Belum punya IPPKH.

Selanjutnya PT Sinar Makmur Cemerlang – 4.677 ha di Batui, Batui Selatan, Toili, dan Moilong. Hampir seluruh konsesi di kawasan hutan, tanpa IPPKH. PT Bumi Gemilang Perkasa – 3.447 ha di Toili Barat, juga tanpa IPPKH.

Sesuai kewenangan, Dinas Perizinan Kabupaten Banggai seharusnya memastikan izin tambang galian C sesuai aturan. Namun, instansi ini bungkam dan tak merespons soal tambang galian C tanpa IPPKH.

Sikap diam Dinas Perizinan Banggai tentang perusahaan tambang galian C yang memiliki izin lengkap atau tidak menjadi cerminan redupnya keterbukaan informasi publik. Rakyat pun patut menduga ada hal besar ‘dimainkan’ institusi ini.

Lebih jauh, perusahaan tambang galian C di Banggai juga patut diduga sering mengeluarkan “surat dukungan material” untuk kontraktor dalam tender proyek fisik pemerintah. Padahal sebagian perusahaan belum sah secara hukum. Alhasil, proyek infrastruktur publik bisa jadi dibangun dengan material tambang bermasalah. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas proses tender di Banggai.

“Saya lagi di Jakarta,” tulis Kabid Perizinan Kabupaten Banggai, Anto Dumang pada pesan singkatnya, Jumat (29/8/2025) lalu.

Sementara itu, Kepala Dinas Perizinan Banggai, Yunus Kurapa juga sering tidak berada dikantor. “Pak Kadis lagi keluar,” ujar salah satu Satpamnya, Selasa (2/9/2025).

Di sisi lain, pemerintah daerah gencar menerapkan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) 10%. Pajak ini lebih banyak membebani rakyat kecil. Mulai dari transaksi rumah makan, hiburan, hingga jasa lain. Sementara pajak besar dari tambang batuan justru longgar dalam pengawasan.

Kontribusi sektor tambang galian C terhadap PAD seharusnya signifikan. Mengingat konsesi ribuan hektare dikuasai perusahaan besar. Namun, lemahnya pengawasan membuat penerimaan daerah tidak sebanding dengan potensi kerusakan lingkungan yang ditinggalkan. Pertanyaannya, mengapa pemerintah lebih rajin mengejar pajak dari kantong rakyat ketimbang memastikan setoran pajak besar dari perusahaan tambang galian C?

Hasil investigasi juga didapati di Desa Bukit Makarti, Toili Barat, tambang galian C ilegal diduga masih beroperasi. Di Balantak, PT Teku Sirtu Utama dan PT Tombal Jaya Sirtu sempat diprotes warga akibat perubahan aliran sungai.

Di Luwuk Timur, PT Bobby Chandra Global Indonesia (BCGI) pernah minta tarif pajak galian C diturunkan dari 20%, padahal angka itu sah di Sulteng. Sementara di Luwuk Selatan, ada 127 unit tambang aktif, sebagian diduga tanpa izin lengkap. Selanjutnya PT Bumi Damai Mandiri (BDM) baru reklamasi 1.337 ha, sementara tambang kecil lain justru memperbesar risiko banjir dan abrasi.

Mengapa Dinas Perizinan membiarkan tambang tanpa IPPKH beroperasi? Bagaimana mungkin surat dukungan tambang galian C bermasalah bisa dipakai dalam tender proyek pemerintah? Mengapa PBJT 10% dikejar dari rakyat, sementara pajak besar dari sektor tambang dibiarkan longgar?

Dalam perspektif hukum, tambang tanpa IPPKH melanggar UU Kehutanan. Penegakan hukum mestinya tidak berhenti pada pajak kecil, tetapi menyasar potensi pelanggaran besar yang merugikan lingkungan, rakyat, dan PAD Banggai.