HukumId.co.id, Jakarta – Sidang Perdana perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015–2022 dengan terdakwa Harvey Moies di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jalan Bungur Besar Raya No 24, 26, 28 Kemayoran, Jakarta Pusat Rabu (14/8/2024).
Dalam keterangannya kepada wartawan Jaksa penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardi mengatakan, Harvey Moies didakwa telah merugikan keuangan negara Rp 300 triliun dimana terkait kasus tersebut. Juga memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi serta melakukan tindak pidana pencucian uang untuk menyembunyikan asal-usul kekayaannya.
“Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum yang merugikan keuangan negara,” ujarnya kepada wartawan usai sidang.
Dikatakan Jaksa bahwa Dimana perkara Harvey yang mana merupakan perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin itu. Dijelaskan bahwa Harvey Moies awalnya bertemu Direktur Utama PT Timah Tbk. Mochtar Riza Pahlevi, Direktur Operasi PT Timah Alwin Albar, serta 27 pemilik smelter swasta. Pertemuan tersebut membahas permintaan biji timah Mochtar dan Alwin sebesar 5% dari kuota ekspor dari smelter swasta. Adanya permintaan karena bijih timah yang diekspor swasta hasil penambangan ilegal di wilayah pertambangan PT Timah.
Selanjutnya Harvey Moies meminta empat smelter swasta yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa membayar biaya pengamanan ke suami Sandra Dewi itu.
Dimana Nilai pengamanan yang diminta kata Jaksa sebesar US$ 500 hingga US$ 750 per ton. Jaksa mengatakan biaya tersebut seolah-olah tercatat sebagai tanggung jawab sosial (CSR) yang dikelola Harvey atas nama PT Refined Bangka Tin. Disisi laian kata Jaksa Harvey juga didakwa mengatur kerja sama sewa pengolahan timah di smelter swasta.
Ia bersama empat smelter swasta melakukan negosiasi dengan PT Timah terkait sewa smelter tanpa studi kelayakan. Harvey dan empat smelter swasta lalu bersepakat dengan PT Timah untuk menerbutkan surat perintah kerja di wilayah pertambangan BUMN tersebut.
“Tujuannya, melegalkan pembelian biji timah oleh swasta yang menambang di IUP PT Timah. Harvey dan empat smelter swasta tersebut lalu melakukan kerja sama sewa alat proses pembuatan logam timah dengan PT Timah. Namun, kerja sama itu tak tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) semua perusahaan. Harvey bersama Mochtar dan Alwin menyepakati harga sewa alat senilai US$ 4.000 per ton untuk PT Refined Bangka Tin serta US$ 3.700 per ton untuk empat smelter lainnya. Sedangkan tanggal kajian dibuat mundur alias back date,” urainya.
Akibat perbuatan tersebut kata Jaksa, telah terjadi kerusakan lingkungan di wilayah IUP PT Timah. Dampaknya adalah kerugian ekologi, ekonomi lingkungan, hingga ruginya negara, ungkapnya.
(lian tambun)