HukumID.co.id, Medan – Kisruhnya organisasi notaris tak menjadi halangan Ikhsan Lubis meraih gelar Doktor Ilmu Hukum. Ketua Pengurus Wilayah Sumatera Utara Ikatan Notaris Indonesia (INI) tersebut berhasil dalam ujian terbuka di Universitas Sumatera Utara pada Selasa (23/4/2024).
Ikhsan diberikan penilaian cum laude setelah Tim promotor dan penguji mendengar disertasi berjudul “Paradigma Baru Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris Dalam Kerangka Pengembangan Konsep Cyber Notary di Indonesia”. Bertindak selaku promotor, Prof. Tarsisius Murwadji dan ko-promotor Prof. Sunarmi dan Detania Sukarja.
Pada dasarnya cyber notary adalah notaris yang mempergunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya, terutama dalam pembuatan akta. Cyber notary mengharuskan notaris mengubah paradigma konvensional dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
Ikhsan menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Transformasi digital mengubah paradigma kerja notaris di banyak negara, termasuk di Indonesia. Perubahan paradigma tersebut bersentuhan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, sehingga perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian.
Paradigma baru pelaksanaan tugas-tugas jabatan notaris bermakna perubahan cara bekerja melalui rekonstruksi hukum cyber notary dengan memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana membantu tugas sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan teknologi menuntut notaris bekerja lebih praktis, cepat, dan mudah, tetapi juga harus menghadapi sejumlah tantangan yang muncul terutama menyesuaikan dengan era digitalisasi.
Tantangan dimaksud berupa munculnya isu-isu hukum dalam pelaksanaan tugas notaris, misalnya, pertanyaan tentang keabsahan penggunaan zoom untuk Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas. Untuk mengefektifkan dan konsistensi penggunaan teknologi dalam pekerjaan notaris di Indonesia, Ikhsan menyebutkan beberapa langkah yang perlu dilakukan.
Pertama, harmonisasi hukum dalam kerangka implementasi cyber notary dikaitkan dengan kepastian hukum. Ada kebutuhan mendesak harmonisasi antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014), Undang-Undang tentang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
“Harmonisasi diperlukan untuk memastikan legalitas dan validitas akta elektronik sejajar dengan akta konvensional,” kata Ikhsan.
Notaris kelahiran Medan, 2 Juli, menunjuk pentingnya revisi terhadap Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 1 angka 7 UU Jabatan Notaris untuk mencapai konsistensi penafsiran atas notarisasi digital. Pasal 15 ayat (3) mengatur kemungkinan pemberian kewenangan lain kepada notaris selain kewenangan yang disebut pada ayat sebelumnya.
Seorang notaris berwenang antara lain;
- Membuat akta autentik
- Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
- Membukukan surat di bawah tangan
- Membuat salinan dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat bersangkutan
- Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
Adapun Pasal 1 angka 7 mendefinisikan akta notaris sebagai akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
Ikhsan juga berpendapat perlu dilakukan kajian mendalam terhadap Pasal 5 ayat (4) UU ITE dan Pasal 1874 KUH Perdata untuk mengakui tanda tangan elektonik dan teknologi cap jempol sebagai bagian dari proses verlijden notaris di era digital. Pasal 5 ayat (4) UU ITE dimaksud menyebutkan ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Pasal 1874 KUH Perdata menyebutkan tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
Kedua, membuat panduan-panduan praktis dan lingkungan kerja yang mendukung penggunaan teknologi cyber notary. Panduan-panduan dimaksud bertujuan menjaga kepastian hukum dan menyesuaikan tugas-tugas notaris dengan perkembangan teknologi. Panduan praktis dapat merinci prosedur notarisasi digital, validasi tanda tangan elektronik, dan langkah lain yang perlu diikuti notaris di seluruh Indonesia.
“Organisasi notaris juga perlu mengembangkan program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pengetahuan notaris dalam dunia digital,” ucap Ikhsan.
Ketiga, dalam melaksanakan tugas-tugas dalam cyber notary, notaris tetap terikat pada adagium absolute sentential expositore non indiget, yang menekankan pentingnya kejelasan dan ketegasan rumusan norma tanpa ada penjelasan tambahan.
“Artinya, peraturan berlaku untuk peristiwa yang terjadi setelah peraturan berlaku, bukan berlaku surut. Perbedaan interpretasi dalam perubahan UU ITE, misalnya, perlu merujuk pada ketentuan-ketentuan terbaru. Intinya, menurut Ikhsan, pengembangan konsep cyber notary membutuhkan kepastian hukum,” jelas Ikhsan.
Ikhsan mengusulkan pembentuk Undang-Undang merevisi UU Jabatan Notaris untuk mengakomodasi pranata hukum cyber notary; UU ITE untuk mengatur tanda tangan elektonik dan perlindungan data dalam konteks tugas notaris; dan KUH Perdata untuk memberikan pengakuan hukum yang setara antara akta konvensional dengan akta elektronik. Suatu norma baru yang menjanjikan dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. (Insan Kamil)