KPK Ungkap Gubernur Riau Minta ‘Jatah Preman’ dari Pejabat Dinas PUPR

Hukum, Tipikor358 Dilihat

HukumID | Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid (AW), sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dalam proyek infrastruktur di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Provinsi Riau.

Selain Abdul Wahid, KPK juga menetapkan M (Kepala Dinas PUPR-PKPP) dan DAN (Tenaga Ahli Gubernur Riau) sebagai tersangka. Ketiganya langsung ditahan untuk 20 hari pertama terhitung sejak 4 November hingga 23 November 2025.

Penetapan tersangka ini merupakan hasil dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK di wilayah Pekanbaru dan Jakarta Selatan pada Senin, 3 November 2025. Dari operasi tersebut, KPK mengamankan barang bukti berupa uang tunai Rp800 juta, 9.000 pound sterling, dan 3.000 dolar AS setara dengan total Rp1,6 miliar.

“Perbuatan ini menunjukkan praktik dugaan korupsi masih terjadi dengan berbagai modus yang beragam. Ini menjadi peringatan serius bagi seluruh pemerintah daerah,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11).

Modus Pemerasan “Jatah Preman”

Konstruksi perkara berawal dari laporan masyarakat mengenai dugaan pemerasan di Dinas PUPR-PKPP Riau. KPK menemukan bahwa pada Mei 2025, Sekretaris Dinas FRY bertemu dengan enam kepala UPT wilayah untuk membahas kesanggupan memberikan fee 2,5 persen kepada Gubernur Abdul Wahid. Fee tersebut terkait penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan yang naik dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

Namun, Kepala Dinas PUPR-PKPP M kemudian menaikkan permintaan menjadi 5 persen atau sekitar Rp7 miliar. Para pejabat UPT yang tidak menuruti perintah itu diancam akan dimutasi dari jabatannya. Permintaan ini di kalangan pegawai disebut sebagai “jatah preman”.

Dari hasil penyelidikan, terjadi tiga kali setoran kepada Abdul Wahid melalui tenaga ahlinya DAN dan Kepala Dinas M, dengan total mencapai Rp4,5 miliar.

  • Setoran pertama (Juni 2025): Rp1,6 miliar
  • Setoran kedua (Agustus 2025): Rp1,2 miliar
  • Setoran ketiga (November 2025): Rp1,2 miliar

Pada setoran terakhir, tim KPK melakukan OTT dan menangkap sejumlah pejabat, termasuk Abdul Wahid yang sempat bersembunyi di sebuah kafe di Pekanbaru.

Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, sebagian dana diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk perjalanan ke luar negeri.

“Uang dalam pecahan pound sterling itu salah satunya digunakan untuk kegiatan ke luar negeri, antara lain ke Inggris,” kata Asep.

KPK juga menduga uang yang dikumpulkan para kepala UPT sebagian besar berasal dari pinjaman pribadi atau bank, lantaran APBD Riau mengalami defisit Rp3,5 triliun.

Dalam perkara ini, KPK menjerat Abdul Wahid cs dengan Pasal 12 huruf e dan huruf b UU Tipikor, yaitu tindak pidana pemerasan dan gratifikasi, bukan suap.

“Karena inisiatif datang dari pejabat yang berwenang meminta uang, bukan dari pihak yang ingin menyuap. Jadi yang aktif memeras adalah Gubernur,” tegas Johanis Tanak.

KPK berharap kasus ini menjadi peringatan keras bagi seluruh kepala daerah agar menjaga integritas dan menjauhi praktik korupsi.

“Momentum ini harus menjadi pengingat agar penyelenggara negara menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi,” ujar Tanak menutup keterangan pers.