HukumID | Banggai — Kerusakan lingkungan di pesisir timur Kabupaten Banggai kian mengkhawatirkan. Organisasi lingkungan Iguana Tompotika secara tegas mengecam aktivitas enam perusahaan tambang nikel pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana, yang dinilai telah menyebabkan bencana ekologis dan ekonomi bagi masyarakat setempat.
Dalam siaran persnya, Ketua Iguana Tompotika, Moh. Hidayat, menyatakan bahwa pembukaan lahan tambang secara masif dan pembuangan limbah ke wilayah pesisir telah menghancurkan sekitar 18 hektare hutan mangrove, merusak saluran irigasi vital, serta menyebabkan gagal panen pada 250 hektare sawah warga.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bencana ekologis dan ekonomi yang disengaja,” tegas Hidayat.
Menurutnya, aktivitas tambang yang sembrono telah mencemari rawa-rawa dan saluran air yang menjadi sumber kehidupan bagi petani. Hutan mangrove yang berfungsi sebagai benteng alami terhadap abrasi dan habitat berbagai spesies kini rusak parah.
“Kalau ini terus dibiarkan, bukan hanya nelayan kehilangan lautnya, petani pun kehilangan tanahnya,” imbuhnya.
Iguana Tompotika mendesak Bupati Banggai untuk segera mengeluarkan rekomendasi penghentian seluruh aktivitas tambang di Desa Siuna tanpa menunggu proses audit atau pencabutan izin. Mereka juga meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ESDM, dan aparat penegak hukum turun tangan melakukan investigasi menyeluruh.
“Kami menduga kuat ada pelanggaran hukum lingkungan hidup yang serius. Ini harus ditindak, bukan ditunda,” kata Hidayat.
Selain penghentian tambang, Iguana Tompotika juga menuntut:
- Rehabilitasi total hutan mangrove yang telah dirusak;
- Perbaikan saluran irigasi yang terdampak;
- Kompensasi kepada petani yang mengalami gagal panen akibat pencemaran lingkungan.
Organisasi ini juga menyerukan evaluasi ulang seluruh izin tambang yang berada di kawasan rawan ekologis. Menurut Hidayat, Desa Siuna seharusnya merupakan zona pangan dan ekologi, bukan kawasan industri ekstraktif.
Iguana Tompotika mempertanyakan bagaimana izin tambang bisa diterbitkan di wilayah yang jelas-jelas memiliki kawasan lindung dan pertanian aktif. Mereka menduga kemungkinan adanya penyimpangan dalam proses AMDAL atau manipulasi data dalam penerbitan izin.
“Jika ditemukan pelanggaran terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka pelakunya bisa dijerat pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar. Ini bukan hanya soal sanksi administratif, tapi juga pidana,” tegas Hidayat.
Iguana Tompotika menegaskan tidak akan tinggal diam. Jika tidak ada tindakan dari pemerintah dan aparat penegak hukum, mereka siap menempuh jalur hukum dan memobilisasi gerakan rakyat untuk melindungi tanah dan laut Desa Siuna.
“Kami tidak meminta keajaiban, kami menuntut keadilan ekologis. Jika negara tak hadir, maka rakyat akan turun tangan,” pungkasnya.








