HukumID.co.id, Jakarta – Sidang Praperadilan dengan nomor perkara 124/pid.pra/PN JKT.SEL yang diajukan oleh Pemohon Wali Kota Semarang yaitu Hevearita Gunaryanti Rahayu atau yang dikenal sebagai Mbak Ita kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kamis 9 Januari 2024, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.
Dalam persidangan, Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang S.H., M.H. sebagai ahli bidang Administrasi dan Keuangan Negara yang dihadirkan Pemohon mengutarakan bahwa perkara ini harus mengikuti asas “Audi Et Alteram Partem”, yang berarti “Biasakan Mendengar atau Melihat suatu permasalahan dari kedua belah pihak”.
Sementara itu, Prof. Hibnu Nughroho S.H., M.H, sebagai saksi ahli pidana dari pihak Termohon berpendapat bahwa percepatan merupakan hal mutlak dalam menangani kasus hukum terutama dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ia juga mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai tersangka meskipun belum melalui proses pemeriksaan sebagai saksi dari kasus yang dihadapinya.
Setelah sidang, kuasa hukum Pemohon, Dr. Agus Nurudin S.H., CN., M.H menegaskan bahwa materi klarifikasi yang diberikan oleh pihak termohon tidak ada kaitan dengan alat bukti.
“Jadi saya tanyakan kepada saksi ahli bahwa prinsip dasar dalam penegakan hukum ini kan jelas putusan dari Mahkamah Konstitusi “demi Keadilan dan kepastian”, kalau menegakkan hukum hanya mengandalkan kecepatan tanpa controlling ya jelas sangat berbahaya,” kata Agus kepada wartawan.
Ia menyatakan pimpinan KPK juga manusia biasa yang tidak lepas dari abuse of power sehingga perlu adanya controlling, klarifikasi juga perlu dengan alat bukti kuat. Kalau klarifikasi tanpa alat bukti, kasihan tersangkanya dan siapapun bisa jadi tersangka tanpa tahu alat bukti kuat nya,” sambungnya.
Di tempat yang sama, kuasa hukum lainnya, Dr. Erna Ratnaningsih S.H., LL.M, menyebut, KPK sebagai Lembaga superbody harus tunduk pada Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Erna menegaskan pada intinya KPK harus controlling dan tidak boleh ada tindakan yang sewenang-wenang dalam melakukan penetapan status tersangka.
“Itulah kenapa ada yang namanya lembaga control yaitu Praperadilan. Praperadilan itu adalah lembaga pengontrol supaya hak-hak dari pemohon yang dilanggar itu dapat terpenuhi. Jadi di situ di aturnya,” imbuhnya.
Menurutnya, KPK jangan hanya fokus pada pasal 44, tetapi menyimpangi KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21.
“Karena dalam putusan MK ditetapkan bahwa ada kriteria yang namanya Penyelidikan, Batasan Penyidikan. Jadi kalau yang kita lihat dari pihak termohon, mereka melihat bahwa tidak ada batasan antara penyelidikan dan penyidikan. Seharusnya menurut KUHAP dan putusan MK no 21, penyelidikan dan penyidikan itu ada batasannya,” tukasnya.
Tujuan KUHAP dan putusan MK No. 21 itu, lanjut Erna, untuk menentukan apakah ada peristiwa atau tindak pidana yang dapat menyebabkan seseorang dijadikan tersangka atau tidak. Seharusnya KPK jangan mencampur-adukan itu.
Selain itu,ia mengungkapkan keheranan dengan saksi ahli pidana dari KPK yang menyebut itu tidak menjadi masalah. Kenyataanya itu melanggar KUHAP dan putusan MK no 21.
“Menurut saksi ahli yang kedua (saksi KPK) itu tidak menjadi masalah, sedangkan menurut kita itu adalah masalah, karena melanggar KUHAP dan juga melanggar putusan MK no 21. Karena hak-hak tersangka itu dilindungi oleh Undang-Undang, dilindungi pula oleh HAM,” tegasnya.
Persidangan Praperadilan akan dilanjutkan pada Jumat, 10 Januari 2025 dengan agenda yang sama, yaitu pemeriksaan saksi ahli.
MAF







