HukumID | Banggai – Pemindahan lokasi mangrove yang dirusak oleh aktivitas tambang di Siuna ke wilayah lain, yakni Desa Tikupon, Kecamatan Bualemo, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah tindakan tersebut sesuai dengan regulasi lingkungan hidup, atau justru mengakali hukum demi kepentingan korporasi?
Sebagaimana diketahui, perusahaan tambang di Siuna diduga telah merusak kawasan mangrove seluas 15 hektar, termasuk di dalamnya lahan masyarakat yang belum sepenuhnya dibebaskan. Alih-alih melakukan pemulihan di lokasi yang sama, pihak perusahaan justru melakukan “tukar guling” kawasan mangrove dengan menanam di tempat lain yakni di Desa Tikupon Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah dengan menanam 10 ribu pohon mangrove.
Pertanyaannya sederhana namun fundamental, Apakah ekosistem bisa dipindahkan semudah itu? Dalam regulasi lingkungan, terutama yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan Mangrove serta peraturan turunannya, rehabilitasi mangrove menuntut pendekatan berbasis ekosistem, bukan sekadar hitung-hitungan luas lahan.
Mangrove bukan sekadar pohon. Ia adalah penjaga garis pantai, habitat biota laut, sekaligus penyangga kehidupan masyarakat pesisir. Merusaknya lalu menanam di tempat lain tanpa kajian yang transparan bukanlah pemulihan, melainkan perpindahan masalah.
“Kalau hutan mangrove rusak di Siuna, lalu kompensasinya ditanam di Tikupon, siapa yang menjamin bahwa fungsi ekologis, sosial, dan ekonominya setara?” ujar Ketua Yayasan INSTAL (Institut Transformasi Lokal) melalui sambungan telfon, Selasa (29/7/2025) Provinsi Sulawesi Tengah, Ibrahim A. Hafid.
“Apakah masyarakat Siuna tak perlu lagi perlindungan dari abrasi, atau tak lagi membutuhkan ekosistem laut yang sehat?” Tanyanya lagi.
Lebih lanjut, Ia mempertanyakan pula proses analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan dokumen perizinan lain yang menjadi dasar langkah tersebut. Apakah skema tukar-guling itu pernah dikonsultasikan kepada masyarakat terdampak? Apakah telah melalui proses kajian ilmiah dan persetujuan resmi dari instansi teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup dan KLHK?
Jika tidak, maka bisa jadi tindakan ini bukan hanya menabrak prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan lingkungan hidup, tetapi juga berpotensi bertentangan dengan hukum.
Kenyataan bahwa pengrusakan mangrove di Siuna seolah “dimaafkan” hanya karena digantikan di tempat lain, mencerminkan pola pikir eksploitatif. Bahwa alam bisa dipindah-pindah layaknya aset bisnis.
“Jika luasan 15 Ha dengan asumsi 1 Ha 10 ribu pohon serta jarak tumbuh 1 pohon 1×1 m persegi, maka 15 ha= 150.000 pohon. Belum unsur kerugian lainnya berupa biota laut dan kerusakan 3 zona. Zona Baringtonia, zona padang lamun dan Zona terumbu karang. Selain itu soal jasa lingkungan dan ekonomi masyarakat yang tumbuh dan hidup sekitar hutan mangrove. Masih banyak lagi soal lain. Termasuk proses tumbuh lama pertumbuhan mangrove,” Jelasnya.
Kini, masyarakat menunggu ketegasan pemerintah daerah dan pusat. Apakah negara akan berpihak pada pemulihan lingkungan berbasis keadilan ekologis? Ataukah kembali membiarkan perusahaan menulis sendiri aturan mainnya?
Hukum lingkungan hidup tidak mengenal logika barter ekologis. Pemulihan bukanlah soal mengganti lokasi, tapi soal mengembalikan fungsi. Bila hukum membiarkan ini terus terjadi, maka kita sedang membuka jalan bagi preseden buruk. Rusaklah ekosistem di mana saja, asalkan bisa tanam kembali di tempat yang tak bersuara.








