Dugaan Penyerobotan Lahan Warga oleh PT Sawindo Cemerlang, DPRD Banggai Bereaksi Keras

Daerah1005 Dilihat

HukumID.co.id, Banggai – Suasana memanas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi II DPRD Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah pada Senin (26/5/2025), menyusul laporan warga Desa Masing, Kecamatan Batui Selatan, terkait dugaan penyerobotan lahan oleh perusahaan raksasa sawit, PT Sawindo Cemerlang.

Dalam forum yang digelar di ruang rapat DPRD Banggai itu, Kepala Desa Masing, Satuo Andi Tahang, dengan tegas membenarkan adanya praktik penanaman sawit oleh perusahaan di atas lahan milik warga. Fakta bahwa tanah tersebut bersertifikat, memiliki SKPT, dan pajaknya dibayar oleh warga, menjadi bukti kuat yang membuat DPRD tak bisa menutup mata.

“Izin yang dikantongi PT Sawindo Cemerlang itu bodong. Mereka masuk dan menanam di lahan warga tanpa seizin pemilik sah,” ungkap Satuo, lantang.

Pernyataan ini memantik perhatian serius dari Ketua Komisi II DPRD Banggai, Irwanto Kulap. Ia memastikan DPRD akan turun langsung ke lapangan untuk mengecek kebenaran di beberapa titik di Kecamatan Batui Selatan. Lebih jauh, Komisi II juga mengeluarkan imbauan keras agar PT Sawindo Cemerlang menghentikan sementara seluruh aktivitas di lahan yang disengketakan.

Namun, pihak perusahaan membantah tudingan tersebut. Melalui Humasnya, Dodi Yoanda Lubis, PT Sawindo Cemerlang menegaskan bahwa seluruh aktivitas perusahaan dilakukan berdasarkan izin resmi yang telah diterbitkan sejak tahun 2009. Ia menyebut perusahaan memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang sah, termasuk di Desa Masing.

“Kami tidak berniat menyerobot lahan warga. Seluruh kegiatan kami dilakukan berdasarkan titik koordinat yang sesuai dengan perizinan. Jika ada hal yang bisa dipertanggungjawabkan, tentu akan kami selesaikan secara prosedural,” ujar Dodi.

Namun pernyataan ini tampak bertolak belakang dengan pengakuan warga dan aparat desa. Bila benar PT Sawindo Cemerlang telah menanami lahan yang tidak mereka miliki secara sah, maka ini bukan sekadar sengketa, tapi bisa dikategorikan sebagai perampasan hak rakyat kecil atas tanah mereka.

Kasus ini menjadi potret buram relasi antara kekuasaan korporasi dan ketidakberdayaan warga desa. DPRD Banggai kini diuji: apakah akan berdiri tegak membela rakyat atau justru tunduk pada kekuatan modal? Tindakan nyata sangat dinanti—bukan hanya pernyataan normatif. Investigasi lapangan dan proses hukum harus menjadi prioritas agar tak ada lagi petani yang terusir dari tanahnya sendiri oleh dalih investasi.

SL