Penasihat Hukum Kenny Sebut JPU Lakukan Blunder Fatal

Peradilan, Pidana903 Dilihat

HukumID.co.id, Jakarta – Sidang lanjutan dengan Terdakwa Kenny Wisha Sonda (KWS) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (12/9/2024) pukul 18.30 WIB. Agenda sidang kali merupakan Tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Nota Keberatan/Eksepsi yang diajukan oleh Tim Penasihat Hukum.

Dalam persidangan, JPU membacakan tanggapannya lebih dari 40 halaman, namun, tidak semua poin dibacakan dalam sidang. Perry Cornelius Sitohang, salah satu penasihat hukum Kenny Wisha Sonda terkejut mendengar pilihan kata yang digunakan JPU dalam menyampaikan tanggapannya.

“Kami sebagai Penasihat Hukum sangat terkejut mendengar beberapa diksi yang digunakan tidak pantas dan tidak elok untuk didengar di ruang persidangan,” ujar Perry dalam siaran persnya.

Menurut Perry, ada 5 pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sangat disayangkan mengapa disampaikan yakni, Penasihat Hukum seharusnya malu dengan argumen yang disampaikan dalam eksepsi. Kedua, Penasihat Hukum masih amatir dalam pemahaman atas hukum pidana. Tiga, Penasihat Hukum memiliki pengetahuan yang sempit tentang hukum pidana. Empat Penasihat Hukum tidak profesional. Dan ke 5 Penasihat Hukum perlu diedukasi.

“Kami menghormati hak JPU untuk menyanggah dalil-dalil eksepsi kami. Namun, diksi yang dipilih sungguh di luar ekspektasi kami, dan sangat tidak sesuai dengan norma yang seharusnya dijunjung di dalam ruang persidangan,” ungkap Perry Sitohang.

Meskipun demikian Perry Sitohang sangat memahami bahwa JPU berhak menyampaikan penyangkalan terhadap eksepsi yang telah Penasihat hukum ajukan minggu lalu, kami juga sangat menghormati hak mereka untuk menyangkal argumentasi Penasihat Hukum.

“Meskipun Penasihat Hukum tetap meyakini bahwa argumentasi logis yang disampaikan didukung oleh prinsip-prinsip hukum yang kuat,” tegas Perry Sitohang.

Terdakwa Kenny Wisha Sonda (KWS) saat duduk di kursi pesakitan

Sementara Fredrik J. Pinakunary menambahkan, salah satu hal yang menarik dalam tanggapan JPU adalah penggunaan Teori Keadilan John Rawls untuk menyangkal argumen Penasihat Hukum, justru memperkuat argumen Penasihat Hukum.

“Namun, argumen JPU yang dibangun berdasarkan Teori Keadilan Rawls, terutama pada konsep veil of ignorance dan prinsip distribusi yang adil, memperkuat argumen Penasihat Hukum dalam eksepsi,” tandasnya.

Fredrik melihat salah satu poin utama yang Penasihat Hukum sampaikan adalah, pentingnya keadilan prosedural yang harus diterapkan secara adil kepada semua pihak yang terlibat, termasuk terdakwa Kenny Wisha Sonda.

Disisi lain kata Fredrik kembali, ada beberapa poin dari tanggapan JPU yang tidak relevan dan bahkan terkesan berlebihan, seperti penggunaan Cost-Benefit Analysis (CBA) sebagai alasan untuk tidak memberikan berkas perkara kepada tim Penasihat Hukum.

“Menyoroti biaya kertas dan fotokopi adalah pendekatan yang sangat sempit. Dalam konteks ini, yang terpenting adalah pemenuhan hak atas informasi dan keadilan prosedural, yang jauh lebih besar dari sekadar biaya material,” urainya.

Diungkapkan Fredrik, tanggapan JPU tampaknya lebih ditujukan untuk memperbaiki kelemahan yang ada dalam surat dakwaan mereka. “Tanggapan ini memperlihatkan pengakuan tidak langsung bahwa dakwaan awal mereka tidak disusun dengan cermat, jelas, dan lengkap, sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 143 KUHAP,” katanya.

Oleh karena itu, Fredrik J. Pinakunary mewakili Penasihat Hukum lainnya, berharap Majelis Hakim perkara a quo dapat mempertimbangkan secara seksama pelanggaran prosedural ini dan menyatakan bahwa dakwaan tersebut tidak dapat dipertahankan.

“Sidang selanjutnya akan berlangsung pada Selasa, 24 September 2024 dengan agenda Putusan Sela. Apabila perkara ini berlanjut, kami akan berkomitmen untuk tetap menjaga kesantunan dan profesionalisme dalam setiap pernyataan yang kami sampaikan,” jelas Fredrik.

Lebih lanjut, Fredrik menegaskan bahwa Penasihat Hukum tidak akan mengatakan, “Penuntut Umum seharusnya malu dengan kualitas tuntutannya.” Kedua, “Penuntut Umum masih amatir dalam menyusun argumentasi mereka.” Tiga, “Penuntut Umum memiliki pengetahuan yang sempit.” Empat, “Penuntut Umum perlu diedukasi.”

“Sebagai penasihat hukum, kami akan mengendalikan emosi dan menghindari penggunaan katakata yang tidak elok, karena kami sangat menghormati persidangan ini, ujar Fredrik tegas.

Untuk itulah Fredrik berharap dukungan dalam perjuangan untuk mendapatkan keadilan. Bagi Fredrik, kasus ini bukan hanya tentang Kenny Wisha Sonda. “Akan tetapi juga tentang keamanan dan penghormatan terhadap profesi legal counsel, advokat, dan penasihat hukum di Indonesia yang sedang dipertaruhkan dalam kasus ini,” pungkasnya.

(Lian Tambun)