“Quo Vadis RUU Perampasan Aset Tindak Pidana”

Organisasi518 Dilihat

HukumID.co.id, Jakarta – Bertempat di ruang seminar DPC Peradi Jakarta Barat Grand Slipi Tower lt.5. Jakarta Barat digelar diskusi Ilmiah sambil ngeteh bareng, Jumat (23/8/2024), dengan mengangkat Tema “Quo Vadis RUU Perampasan Aset Tindak Pidana” (dalam perspektif Penegakan Hukum yang Profesional dan Berkeadilan) yang sedang jadi trending topik Nasional akhir akhir ini.

Dimana acara ini bekerja sama dengan  Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia dan Kejaksaan Agung.  Dengan menghadirkan pemateri yakni,  Guru Besar Hukum Pidana UKI, Prof. Dr. Mompang L. Panggabean SH, MH; Dewan Pakar DPC PERADI Jakarta Barat, Dr. Hendrik Jehaman, SH, MH, dan  Kasubdit Pelacakan Aset dan Pengelolaan Barang Bukti Direktorat Penyidikan  Jampidsus Kejaksaan Agung, Dr. Arif Zahrulyani, SH, MH.

Guru Besar Hukum Pidana UKI, Prof. Dr. Mompang L. Panggabean S.H., M.H

Dikatakan Prof. Dr. Mompang L. Panggabean SH,MH dalam paparannya, bahwa  Persoalan Krusial  dalam  Perampasan Aset Tindak Pidana ada 4 yakni, pertama, Regulasi perampasan aset yang responsif terhadap modus tindak pidana berdimensi ekonomi amat mendesak. Kedua, Regulasi perampasan aset idealnya mengakomodasi norma dan pendekatan hukum progresif, antara lain dengan asas non-conviction-based asset forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan. Tiga, Naskah RUU PATP yaang disusun pemerintah sudah mengakomodasi asas NCB, tetapi penerapannya masih bergantung pada proses penegakan hukum pidana. Empat,  Perampasan aset tanpa pemidanaan bisa dilakukan jika tersangka/terdakwa wafat, melarikan diri, sakit permanen, DPO, diputus ontslag.

Adapun Penyebab RUU Perampasan Aset TP kata Mompang,  belum masuk prioritas tahunan prolegnas kata Mompang Panggabean,  Struktur hukum dan hukum formil masih memerlukan kajian antarkementerian/lembaga  lembaga apa yang mengelola? Perlu dihindari pembentukan lembaga baru.  Instrumen penanganan tindak pidana yang menekankan perampasan aset hasil tindak pidana berupa Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau civil forfeiture. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 telah mengatur perampasan aset, tetapi belum memakai NCB Asset Forfeiture, melainkan instrumen hukum pidana lewat putusan inkracht sesuai Eropa Kontinental. NCB Asset Forfeiture awalnya dikenal dalam sistem common law  cenderung dapat disalahgunakan penegak hukum. Dan ada kekhawatiran jika NCB Asset Forfeiture menjadi terobosan, bakal digugat di MK dengan dalih bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, ujar  Guru  Besar Hukum Pidana UKI ini.

Dijelaskan Mompang Panggabean bahwa  Aspek Preventif Instrumen Perampasan Aset itu ada 6 yang patut diperhatikan yaitu, 1. pelaku tercegah melakukan tindak pidana sebab keuntungan yang diperoleh akan dirampas untuk negara 2. pidana perampasan kemerdekaan takkan mampu mencegah tindak pidana sebab pelaku masih bisa menikmati keuntungan 3. perampasan aset menambah dukungan masyarakat dan menjadi sinyal bahwa pemerintah serius memerangi t.p. 4. Perampasan aset merupakan perang terhadap tindak pidana berdimensi ekonomi dan organized crime 5. Dari pengalaman penjatuh pidana denda dinilai tidak cukup untuk menjerakan pelaku tindak pidana 6. Perampasan aset berperan untuk memperingatkan mereka yang akan melakukan tindak pidana, paparnya.

Disisi lain dalam materinya Mompang Panggabean menjelaskan akan keterbatasan kemampaun hukum pidana dalam menganggulangi kejahatan.  Dikatakan Mompang bahwa Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana. Selanjutnya  Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sosio-psikologis, sosio-politik, sosioekonomi, sosio-kultural, dan sebagainya). Sedangkan Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom.

“Oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif;” ungkap Mompang Panggabean.

Di dalam perkembangan Global kata Mompang melihat, Pembukaan United Nation Convention Against Corruption: “….bertujuan untuk mencegah, mendeteksi, memperingatkan dengan cara yang lebih efektif akan bentuk kejahatan melalui transfer internasional dan memperkuat kerja sama internasional dalam pemulihan aset”. Penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana penting untuk menekan tingkat kejahatan. Perlu mengadopsi ketentuan hukum perdata terpisah dari penuntutan pidana demi meningkatkan nilai hasil tindak pidana yang dapat dirampas, tandasnya.

Dikatakan Mompang bahwa ada Dua isu fundamental berhubungan dengan pengembalian asset yakni  pertama, Menentukan harta kekayaan apa dipertanggungjawabkan untuk dilakukan penyitaan Kedua, Menentukan dasar penyitaan suatu harta kekayaan, katanya.

Sedangkan Metode yang dipakai untuk menyembunyikan hasil tipikor di Indonesia lanjut Mompang Panggabean  yaitu Real Estate/Harta kekayaan tidak bergerak,   Pembelian barang-barang berharga (emas, berlian) dan Saham-saham domestik.

Namun kata Mompang Panggabean adapun  hambatan pengembalian aset hasil korupsi diantaranya, 1, Penyidikan 2. Sistem hukum antarnegara yang berbeda 3. Sarana dan prasarana belum memadai 4. Tidak mudah membuat perjanjian ekstradisi maupun MLA 5. Dual criminality (menurut hukum kita termasuk tipikor belum tentu demikian di negara lain berdasarkan UNCAC) 6. Kekeliruan dalam melakukan tuntutan berkaitan dengan uang pengganti dan putusan yang keliru oleh hakim, ungkapnya.

Bagi Guru Besar Hukum Pidana ini bahwa  Pergeseran paradigma hukum pidana dapat dilihat dari  Pendekatan tradisional (fundamental approach): diarahkan terutama untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral,  Pendekatan utilitarian (Utilitarian approach): hukum pidana dan sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang oleh masyarakat dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari perilaku yang dapat membahayakan Masyarakat,imbuhnya.

Sementara itu kata Mompang, dalam Pergeseran paradigmatic sendiri  dalam Pasal 32 UU Tipikor mensyaratkan kepastian dari penanganan perkara pidana atas tersangka/terdakwa, sebelum mengajukan permohonan perampasan aset kepada pengadilan,berbeda dengan norma NCB.  Semangat penerapan asas NCB atau pendekatan in rem dalam perampasan aset, berfokus pada aset bukan orang. Penerapan asas NCB di negara lain seperti Belanda dan Belgia: penegak hukum atau lembaga pengelola aset dapat langsung mengajukan permohonan penyitaan dan perampasan aset lewat mekanisme hukum perdata tanpa menunggu pembuktian pidana asal ada dugaan kuat aset tersebut digunakan untuk, diperoleh, atau merupakan hasil dari perolehan tindak pidana, tandasnya.

Masih kata Mompang Panggabean bahwa Mekanisme Perampasan Aset selama ini ia melihat ada 3 yakni, 1, Melalui proses hukum pidana oleh aparat penegak hukum melalui pengadilan dan mendapatkan keputusan final untuk menyita barang bukti atau aset yang terkait 2. Jika tidak ada bukti yang cukup atau tersangka wafat, namun ada kerugian negara, JPU bisa mengajukan gugatan perdata 3. Mekanisme administratif melalui cukai, pajak, dan kepabeanan.

“Ketiga mekanisme ini kurang efektif sebab aparat penegak hukum harus membuktikan kerugian negara sehingga ada kesempatan bagi tersangka untuk menyembunyikan atau menyamarkan aset mereka,” ungkap Mompang Panggabean.

Untuk itu itu masih kata Mompang Panggabeana da beberapa Masalah Dalam Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Perampasan Aset yakni, 1. Konstruksi sistem hukum pidana di Indonesia belum menempatkan penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sebagai upaya menekan tingkat kejahatan 2. Perkembangan internasional: penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sangat penting dalam menekan tingkat kejahatan. 3. Peraturan yang ada saat belum komprehensif dan rinci mengatur tentang perampasan asset, ungkak Guru Besar Hukum Pidana ini.

(Lian Tambun)