HukumID | Jakarta — Seorang advokat bernama Hosnika Putra mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU BUMN ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini terdaftar dalam perkara Nomor PUU/115-XXIII/2025, dengan sidang pendahuluan yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dua hakim konstitusi lainnya, Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.
Pasal yang diuji menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukanlah penyelenggara negara. Menurut Hosnika, ketentuan tersebut menimbulkan multitafsir dan berpotensi menghambat kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menilai, definisi itu bisa menyulitkan lembaga antirasuah untuk menangani perkara korupsi di tubuh BUMN, khususnya yang melibatkan pejabat di posisi strategis.
“Pasal ini berisiko mengaburkan batas kewenangan KPK dalam menangani korupsi, karena bertentangan dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang tercantum dalam UU KPK maupun UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,” ujar Hosnika dalam sidang daring.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 9G tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ia berargumen bahwa keberadaan norma tersebut berdampak pada terhambatnya penindakan korupsi, yang pada akhirnya merugikan hak konstitusional warga negara dalam mendapatkan manfaat dari pembangunan yang bersih dan efisien.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mempertanyakan kedudukan hukum Pemohon sebagai pembayar pajak. Menurutnya, kedudukan demikian hanya relevan bila norma yang diuji berkaitan langsung dengan keuangan negara.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan agar Pemohon lebih rinci menjelaskan keterkaitan profesinya sebagai advokat dengan kerugian konstitusional yang dialami akibat berlakunya pasal tersebut.
“Perlu dijelaskan bagaimana norma ini secara langsung berdampak pada hak-hak konstitusional Pemohon, khususnya sebagai advokat. Harus terlihat kerugiannya secara nyata,” kata Guntur.
Ketua MK Suhartoyo pada akhir persidangan memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Naskah perbaikan paling lambat diserahkan pada Senin, 11 Agustus 2025 ke Kepaniteraan MK, sebelum sidang lanjutan digelar.








