Oleh Frits R Dimu Heo, SH. MSi
APBN 2026 menjadi titik balik arah kebijakan fiskal Indonesia. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memperkenalkan istilah baru: SUMITRONOMIC.
Doktrin ini disebut sebagai strategi percepatan pertumbuhan ekonomi, sekaligus menjadi penanda pergeseran paradigma dari gaya manajemen fiskal ala Sri Mulyani yang selama hampir dua dekade dikenal konservatif dan berhati-hati.
Pertanyaannya, sejauh mana SUMITRONOMIC bisa membawa Indonesia keluar dari jebakan stagnasi, dan apakah lebih tepat dibanding model kehati-hatian ala Sri Mulyani?
SUMITRONOMIC: Gaspol Pertumbuhan
SUMITRONOMIC menekankan tiga agenda besar:
- 1. Mempercepat perputaran ekonomi → belanja negara diarahkan agar uang segera mengalir ke masyarakat.
- 2. Mengangkat daya beli rakyat → konsumsi masyarakat diposisikan sebagai mesin utama pertumbuhan.
- 3. Menjaga disiplin fiskal → defisit dan utang tetap dikontrol agar tidak menimbulkan krisis. Dengan strategi ini, Purbaya menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5,5%, lebih tinggi dibanding capaian rata-rata era sebelumnya.
Menurut Prof. Faisal Basri (Ekonom Senior UI), strategi dorongan permintaan (demand push) seperti ini memang bisa memberi efek instan terhadap pertumbuhan. “Namun, masalahnya bukan sekadar menaikkan konsumsi, tapi bagaimana memastikan daya beli berkelanjutan lewat produktivitas. Kalau konsumsi naik tanpa basis produksi kuat, ujungnya impor yang justru membengkak,” tegasnya.
Jika berhasil, SUMITRONOMIC dapat mempercepat langkah Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, keluar dari jebakan pendapatan menengah, dan menciptakan fondasi ekonomi yang lebih dinamis.
Sri Mulyani: Rem Tangan Selalu Siap
Berbeda haluan, Sri Mulyani tetap menempatkan stabilitas makro sebagai prioritas. APBN 2026 racangannya menargetkan defisit hanya 2,48–2,53% PDB—angka yang merefleksikan sikap superhati-hati.
- Fokus kebijakannya mencakup:
- Menjaga kepercayaan investor global.
- Memastikan utang terkendali.
- Mengarahkan belanja pada sektor prioritas jangka panjang seperti pendidikan, infrastruktur dasar, dan transisi energi.
Ekonom Chatib Basri (mantan Menkeu) menilai gaya Sri Mulyani ibarat “air dingin” yang meredam euforia fiskal. “Kita tidak bisa berpesta dengan utang. Sri Mulyani paham betul, sekali pasar kehilangan kepercayaan, biaya pinjaman melonjak, dan APBN bisa kolaps.”
Dengan demikian, meskipun pendekatannya membuat ekonomi tidak berlari sekencang SUMITRONOMIC, stabilitas jangka panjang relatif lebih aman.
Dua Jalan, Dua Risiko
Jika SUMITRONOMIC Dijalankan Penuh
Positif: Pertumbuhan lebih cepat, Lapangan kerja bertambah, Daya beli rakyat naik dan UMKM dan industri dalam negeri terdorong.
Risiko: Belanja tidak tepat sasaran → defisit melebar,Inflasi meningkat jika suplai barang tak seimbang dan Investor kehilangan kepercayaan.
Jika Gaya Sri Mulyani Dipertahankan :
Positif: Utang terkendali, Stabilitas ekonomi terjaga,Kepercayaan pasar tetap kuat.
Risiko: Pertumbuhan lambat, Daya beli masyarakat stagnan, dan Indonesia berisiko lebih lama terjebak di middle-income trap.
Rekomendasi :
1. Kombinasi Gas dan Rem: Pemerintah perlu mengadopsi semangat akselerasi ala SUMITRONOMIC, tetapi tetap diikat oleh prinsip disiplin fiskal ala Sri Mulyani. APBN harus jadi instrumen yang adaptif, bukan semata-mata ekspansif atau konservatif.
2. Penguatan Produksi Domestik: Kenaikan konsumsi harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri agar tidak bergantung pada impor.
3. Fokus pada Investasi Jangka Panjang: Belanja negara sebaiknya diarahkan tidak hanya untuk memperbesar daya beli jangka pendek, tetapi juga memperkuat sektor produktif seperti pendidikan, riset, industri manufaktur, dan transisi energi.
4. Perbaikan Tata Kelola Belanja: Pengawasan yang ketat mutlak diperlukan agar ekspansi fiskal tidak bocor ke korupsi atau belanja populis yang tidak produktif.
5. Konsistensi dan Keberlanjutan: Siapapun yang memimpin Kementerian Keuangan, arah kebijakan fiskal harus konsisten dan berkelanjutan, tidak terjebak pada pergantian rezim politik.
Kesimpulan :
Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. SUMITRONOMIC menjanjikan kecepatan, tetapi penuh risiko jika tanpa kontrol. Sri Mulyani menawarkan stabilitas, namun bisa terlalu lambat untuk mendorong transformasi ekonomi.
Seperti disampaikan Tauhid Ahmad (INDEF), “Kebijakan fiskal bukan hanya soal menekan pedal gas atau rem, melainkan soal mengendalikan laju kendaraan agar sampai ke tujuan dengan selamat.”
Masa depan Indonesia bukan memilih salah satu, melainkan mengawinkan keduanya: keberanian fiskal yang terukur dan kehati-hatian yang cerdas. Jika keseimbangan ini tercapai, APBN benar-benar bisa menjadi mesin utama menuju Indonesia Emas 2045.
Sumber Pustaka :
1. Jakrev – Menkeu Purbaya Perkenalkan SUMITRONOMICS, Doktrin Baru APBN 2026 (2025).
2. MetroTV – Menkeu Purbaya: APBN 2026 Akan Percepat Perputaran Ekonomi (2025).
3. CNN Indonesia – Sri Mulyani Ungkap Tantangan Berat Urus APBN ke Depan (2025).
4. DDTC News – Defisit APBN 2026 Dirancang Maksimal 2,53% dari PDB (2025).
5. Bisnis.com – Sri Mulyani Sampaikan Asumsi Dasar Makro 2026 (2025).
6. Wawancara & pandangan ekonom: Faisal Basri, Chatib Basri, Tauhid Ahmad.
(*). CV Penulis :
Penulis adalah lulusan S1 Hukum dan S2 Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Pernah bekerja selama 30 tahun di Bank NTT, kini aktif sebagai pemerhati isu sosial dan hukum. Tinggal di Kota Kupang, NTT, menikmati hidup sederhana bersama keluarga dengan prinsip slow living.